Mohon tunggu...
Wening Yuniasri
Wening Yuniasri Mohon Tunggu... Guru - Pelajar kehidupan - Nomine Best in Fiction Kompasiana Awards 2024

Menulislah, maka engkau abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dodo

13 November 2024   10:55 Diperbarui: 14 November 2024   11:26 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dodo

 cerpen oleh: Wening Yuniasri

Meringkas dan berkemas, adalah beberapa hal yang perlu dilakukan untuk merawat rumah tinggal, begitu May menerka urusan berumah tangga, dan karena kemampuan ini adalah keterampilan bertahan hidup, makanya tidak ada urusannya dengan gender. Mau laki-laki atau perempuan, tetap saja perlu punya keahlian beres-beres. Kepalanya yang "berisik" mulai berulah lagi.

Baca juga: Pada Hari yang Itu

Keluar dari kehebohan pagi, tiba-tiba pukul delapan. Tiba-tiba pukul sepuluh. Melirik jam dinding lagi, May perlu segera menyingkir dari looping tak henti-henti ini, sekadar cut off sebentar, menghentikan "akses pekerjaan" di Rumah Seruni.

May sudah memberi centang bagi hal-hal yang perlu dilakukannya sepanjang hari ini, termasuk menata sendok, membuat makan siang, mengepel dapur. Sekarang dia sedang bergegas menuju daftar kegiatan selanjutnya: pergi ke perpustakaan.

"Mbak May mau ke mana?" Lana, anak TK dengan seragam sekolah berwarna hijau, rompi dan badge taman kanak-kanak itu menghentikan tarikan kedua tangan May menggeret pagar. Dia baru saja pulang sekolah. Ibunya sedang menyandarkan sepeda motor di beranda. Bukankah hari Sabtu sekolah libur? Kenapa Lana memakai baju hari Senin?

Baca juga: Food Combining

"Mbak May mau ke perpustakaan," jawab May menengok kembali ke pagar rumah dan menutupnya sempurna.

"Apa itu?"

"Tempat membaca buku."

May berjalan mendekati Lana, "Lana boleh juga ke sana. Ada buku untuk anak-anak juga. Kadang-kadang, ada pembacaan buku di ruang gembira anak-anak, kalau mau. Hari ini, ada."

"Lana mau, tapi Ibu tidak suka. Lana suka membaca di sekolah, ada banyak buku. Ibu suruh Lana membaca, tapi di rumah tidak ada buku."

Lana yang cemberut segera menengok ketika mendengar ibunya berteriak dari dalam rumah, menyuruhnya masuk.

*

Pukul sebelas siang. Pengunjung sedang banyak-banyaknya. May melihat sekeliling, semua sibuk dengan dunia ketik dan bertumpuk referensi yang mesti dimasukkan dalam daftar yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tak jarang, mereka kehabisan tempat duduk di sekitar lobi, hingga akhirnya mereka merunduk, mencari stop kontak demi menyambung hidup laptop di sela-sela rak buku yang mungkin bisa disusupi.

Hanya saja, jika mereka memahami bahwa mereka perlu memberi kesempatan pengunjung lain untuk menggunakan buku referensi yang mereka ambil dalam tumpukan, mereka akan sungkan menjadikannya alas laptop agar terlihat lebih tinggi demi durasi mengetik yang lebih nyaman.

"Maaf, Mbak. Apakah buku-buku yang ini digunakan juga?"

"Iya, digunakan."

"Untuk dibaca?"

"Oh, umm ..."

"Maaf, saya ambil, ya."

"Tapi, Mas!"

"Saya ambil, permisi."

Petugas itu mengambil buku dalam tumpukan dengan penuh otoritas dan percaya diri. Gadis berkacamata yang berselonjor di antara rak buku itu memandang pasrah. Petugas itu, meraih empat buku yang dengan semena-mena dimanfaatkan sebagai pengganjal, dalam genggamannya yang kukuh.

Dua rak buku dari tempat kejadian teguran, posisi May, dia mendengar dan menikmati peristiwa itu sebagai hal yang menyenangkan: sebuah hiburan di antara kebingungan menemukan buku yang tepat di tempat yang sunyi ini. Jujur saja, May belum menemukan yang dia cari. Berita bagusnya, May memiliki alasan untuk tersenyum-senyum sendiri.

Buku yang sudah dibaca, silakan diletakkan di sini

*

Empat buku segera terlihat sekeluarku dari ruang koleksi kesehatan dan pendidikan. Di situlah dia meletakkan semuanya, meja rendah coklat mahoni di sudut lobi. Semua mata dengan mudah menemukannya. Siapa dia? Petugas muda berwajah bulat sawo matang yang kerap berkeliling dengan tumpukan buku di pelukannya. Dia, menegur dengan ringkas dan lawannya menyerah.

Mengingat dan seterusnya, menimbang dan seterusnya, maka sejak ketukan ini dibuat, mari kita panggil dia Dodo.

Dodo adalah spesies burung yang sudah punah. Dulunya, mereka tinggal di belantara Mauritius. Spesimennya pernah dibawa ke Inggris untuk diteliti. Dia angsa tapi bukan angsa. Dia bebek tetapi bukan bebek. Dia gendut, tapi bukan Baby Huey. Dia pernah terjebak dalam kisah-kisah ajaib Lewis Carroll: Alice in Wonderland.

Sejak menyantap kengerian diburu orang-orang pribumi, dia mencari suaka ke luar negeri, May mulai menyangka. Sejak saat itu, kisah ini terjadi, dia menjadi anggota tetap kerajaan Inggris. Beruntung, dia. Punah tapi tetap abadi.

Sikap Dodo yang baru saja dipersaksikan itu, langka ada yang melakukannya dengan baik. Aku ingin dia tidak punah. Aku ingin dia abadi. Di belantara kalbuku, aku ingin mengabadikannya dalam stoples kaca penuh larutan formaldehid, meletakkannya di atas rak tinggi, di sebuah tempat yang semua jiwa yang melintas dapat menemukannya dengan baik. Sebuah tulisan di bawahnya, dalam grafir yang paling cantik: Dodo-man, Dia Melakukan Apa yang Orang Tidak Melakukan, lalu lima puluh buku referensi terdaftar rinci di bawahnya dengan keterangan di blok mana saja buku-buku itu bisa ditemukan.

Jangan bilang aku keji karena berniat mengawetkan badannya. Bukan. Oh, ya Tuhan, yang benar saja! Yang aku awetkan bukan jasadnya, melainkan kualitas jiwanya. Hal tersulit untuk dilakukan di dunia nyata. Tentu, ini hanya boleh bertumbuh di sekitar ladang imajinasi, bukan diwujudkan di dunia nyata, meskipun mungkin, aku ingin itu bisa terjadi. Mengawetkan 'benda-benda' abstrak. Seperti apa wujud awetan dari sikap gigih, sigap, dan teliti? Sekali lagi, sebuah alasan untuk tersenyum-senyum sendiri.

May berjongkok di deretan buku-buku fiksi dan terkaget ketika berdiri. Sebuah wajah yang terlintas dalam imajinasi stoples spesimen: Dodo.

"Maaf."

"M, iya."

Kaki May bergeser secara otomatis, lebih dekat dengan kaki rak. Buku-buku dalam pelukan petugas itu dia bagi-bagi menurut blok yang sesuai. Sekarang giliran langkahnya terhenti di bagian kanan tempat May berjongkok: novel sejarah. Begitulah May mengetahui sesuatu tentang merapikan buku. Dia melakukannya dengan rapi dan cepat.

Jadi, apakah hanya orang ini yang akan menemukan tempat-tempat terpencil dengan sangat teliti? Apakah ini dia-nya yang tercekatan? Ataukah ini dia-nya yang tergesit di sekitar sini? Perkara membaca Dodo yang tidak ada bukunya saja, May sudah zoning out ke mana-mana.

May sangat sibuk dengan pikirannya pada tempat tenang itu. Seketika teringat bapaknya. Mengerjakan pekerjaan beres-beres, bukan hanya pekerjaan perempuan! Tunggu. Mereka di sini beres-beres karena jobdesk mereka termasuk ini, kan? Lalu menjadi perempuan di rumah, apakah rincian pekerjaan yang dipekerjakan dengan gaji yang manusiawi, atau bukan pekerjaan. Siapa yang menggaji? Pikirannya berisik lagi.

*

"Ini alpukatnya."

Sore mulai berangsur petang ketika May sampai di Rumah Seruni. Bapak sedang berjongkok dengan kaus singlet dan sarungnya di samping rumah, memunguti daun nangka yang tunai disapunya. Udara yang mengalir ke dalam rumah jadi lebih segar.

Nay, kakak perempuannya, menerima kantung kain berisi dua buah alpukat mentega yang kulitnya semburat ungu kecoklatan, tanda segera matang.

"Jadi ke perpustakaan?"

"Iya, itu buktinya," jawab May menunjuk alpukat di tangan Nay, "sesuai pesanan, kan? Beli dua buah alpukat dalam perjalanan dari perpustakaan ..."

"... ada hal yang seru"

"Apa?"

"Ada Dodo."

"Dodo?"

May mengerling samping Rumah Seruni. Bapak menepuk-nepuk kedua tangannya, bersiap mencuci tangan di keran dekat jendela dapur. May melirik Nay yang kebingungan, menahan tawa.***[wy]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun