Kode
cerpen oleh: Wening Yuniasri
Ada segebung perasaan asing menyusup tanpa kusadari. Sayangnya, ketika aku mengetahui sepenuh keinsyafan, ini sudah terlambat. Sehingga segala kata-kataku tersalin, berubah membatin: mengapa aku di sini?
Bangku-bangku di belakang punggungku masih kosong. Lelaki di ujung meja memandangku penuh minat. Aku tak perlu memedulikan apakah pupil matanya melebar atau tidak. Yang sangat aku tahu adalah aku ingin menghilang. Meloncati bangku-bangku, menyelundup dan mengerut, hingga sulit bayangku ditemukan, di ruang yang kepalang luas ini, dengan badan yang tiba-tiba menyusut sebesar korek api.
Di luar, jalan utama ramai dan lancar. Tapi gestur dan mimik wajahku, mengadat, alirannya terhambat. Aku hampir kehilangan kemudi atas emosiku sendiri. Kalemlah, hardikku pada diriku sendiri.
Meja kayu di bawah kedua lenganku, mulai basah digenangi bayang-bayang es yang melorot turun. Gembira sekali sepertinya mereka, bisa terlepas dari kebekuan yang menyiksa, mengalir menurut keinginan hati masing-masing. Membuatku iri. Mungkin inilah jawaban mengapa manusia mengharapkan kebebasan. Kebekuan tidak cukup menyehatkan bagi pertumbuhan. Aku melihatnya sebagai tanda waspada, siapa tahu aku juga perlu kabur jauh-jauh dari hal semacamnya, seperti tatapan takjub yang belum berhenti itu. Aku menyadarinya, jauh sebelum gelas di depanku mendarat, atau sebelum tangkupan biskuit hitam bersalut cokelat yang kepalang manis digerus masuk bersama susu segar dan disajikan dengan tata-laksana cukup mengesankan oleh pramusaji. Melihat gejala-gejala yang mulai bermunculan, aku bertanya-tanya. Adakah dari sebagian gumpalan pikiran itu hendak dibagi, atau tidak. Aku menunggu.
Udara tak bergerak di atas sini. Meski langit-langit cukup tinggi, meski aku menentang ruang terbuka, meski tanaman iris berbunga kuning melayangkan senyum riang di bawah kerai-kerai kecil yang terjuntai. Perlu kuakui, aku tak mendapat cukup napas. Memikirkan kesempatan untuk mengempas sumbatan pernapasan, hanya membuatku semakin sesak. Membikin frustrasi.
"Jadi, siapa yang mungkin akan datang, Gita?" Kalimat darinya menjadi yang pertama kalinya sejak kami duduk. Satu-satunya suara di lantai lapis ke dua kedai. Suaranya berdebam jatuh, memungkinkan pengunjung di sudut paling terpencil menegakkan telinga. Suara itu telah membangunkan ribuan kupu-kupu, beterbangan dalam perutku, hinggap di sebarang bangku dan kap lampu, mengubah ruangan ini jadi makin penuh.
Aku mengedikkan bahu. Aku tahu pemberitahuan pada laman grup sekolah menengah yang dia buat itu untuk siapa pun yang berminat datang. Sebuah undangan terbuka. Siapa yang akan menerka bahwa aku mungkin akan datang? Aku bahkan tidak mengonfirmasi kedatanganku padanya. Pengumuman itu bagiku adalah satu-satunya cara untuk dapat mengaksesnya setelah komunikasi kami terputus.
Semua orang yang berniat dan tak berniat datang telah memberitahu dengan gamblang. Dia telah mengetahui itu dengan baik, paling tidak, hingga menit-menit aku datang dan duduk, di bawah situ, di lantai sebelumnya ketika kami pertama kali bertemu hari ini. Dengan mengetahui siapa saja yang akan datang, terkaanku, akan membuatnya mudah mengira-ira bagaimana nanti dia harus menanggapi tamunya. Sementara aku adalah tamu yang tak diharapkan. Anggap saja ini sebuah kejutan. Benar, itu terlihat sangat kentara.
Rasa terkejut itu sulit dielakkannya dengan mudah. Dia menjadi sama canggungnya karena aku datang dengan terlalu berani. Aku memberitahu seorang teman yang dulu sering naik bus bersamaku, menelponnya, tetapi pekerjaan sangat menyibukkannya sepertinya, pada waktu cuti panjang ini. Empat seri deringan dan tanpa respons.