Mohon tunggu...
Wening Yuniasri
Wening Yuniasri Mohon Tunggu... Guru - Pelajar kehidupan

Menulislah, maka engkau abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki yang Melambatkan Langkah

4 September 2024   23:27 Diperbarui: 4 September 2024   23:29 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki yang Melambatkan Langkah

cerpen oleh: Wening Yuniasri

Lambatkan langkahmu!

Demikian otakku memerintah. Terlambat. Aku sudah terlanjur melangkah lebar dan cepat, kombinasi yang buruk.

*

Kalau jalan dengan laki-laki itu yang pelan.

Salah seorang teman kelas seni rupa terapan pernah memberi tahu.

Sudah tahu aku jalan cepat-cepat, kau masih saja mengekor dan menjajariku, sungutku waktu itu. Baru sekarang aku sadar. Ini, bukan kecepatan yang patut. Nanti aku jadi tak terkejar.

Buru-buru amat, sih?

Baca juga: Pertemuan

Aku terdiam saat itu. Meski dalam hati sangat ingin mendebat agar dia terpaksa maklum, aku urungkan. Mengatakan bahwa ini adalah hal yang sudah bawaan lahir karena aku selalu berjalan seperti itu, sepertinya tidak akan membantu.

Mau ke mana?

Aku memperlambat jalanku, menuruti anjurannya yang lebih dekat dengan keluhan dan kritik itu. Sejak percakapan kami menuju barak parkir, pada siang hari yang membelah kepala itu, dia menyerewetiku, bagaimana laki-laki menyukai perempuan.

Dengan kata lain ketika itu, kecurigaanku, aku sedang di-training.

*

Lelaki penganut mahzab setelan warna pakaian yang tidak terlalu 'serasi' itu, duduk bersebelahan denganku di deretan kursi plastik sepanjang lorong. Seringai lebarnya kerap muncul di sela-sela obrolan kami tentang apa saja. Di belakang kami, ruangan ilustrasi masih dipakai jurusan lain. Lima belas menit lagi kelas dimulai, tapi baru kami yang sampai di situ. Tak ada pilihan lain kecuali menunggu.

Tiba-tiba dia bercerita tentang keluarganya. Menceritakan kakak perempuannya yang kuliah di universitas negeri dekat tempat kami belajar, tentang harapan orangtuanya dan masa lalu yang mendebarkan jantung sekaligus membikin habis perasaan keluarganya. Dia bahkan menunjukkan bekas sambaran peluru polisi di betis padaku.

Aku mengerling bekas luka itu, dan lebih banyak lagi bekas luka yang dia miliki.

Dia akan terdesak untuk menangis jika dia perempuan. Demikian batinku menduga. Mata itu menangis secara tersembunyi. Sudah. Sudah mengalir jauh di dalam sanubari yang dicekik masa lalu, meski dia terlihat berharap akan segera berlalu. Aku mengangguk memahami ketercekikan perasaan itu. Salah satu alasannya adalah karena aku kepala suku. Lima perempuan dibanding dua puluh tujuh laki-laki. Sungguh rasio yang menakjubkan. Harus mengayomi sedemikian banyak perasaan lelaki yang tercekik dicabik, membuatku lebih banyak berhati-hati menjejakkan kaki di pecahan kaca dan duri, sedangkan teman perempuan yang lain adalah pengikut yang 'terserah padamu lah'.

Dia sampai pada pembahasan rumah dan kegiatan memasak.

Sebuah pertanyaan mendadak menyeruak: kapan terakhir kali aku memasak?

Ingatanku terpurba dari masak-memasak adalah keterpaksaan. SD kelas satu. Tumis sawi. Aku satu-satunya 'seseorang' di rumah. Semua racikan sudah tersedia. Misi itu terlewati dengan sukses, syukurnya. Sangat legam. Terlalu banyak api.

"Lelaki yang bisa memasak itu orang yang sayang keluarga," celetukku tanpa banyak berpikir.

Dia tersenyum sambil menunduk. Menyeratuk. Menyembunyikan rasa malu-tersanjung-bahagia yang teraduk sempurna. Kata-kataku adalah sudip pengaduk itu. Sinar matahari yang menyelonong masuk dari jendela kaca mati di dinding atas sebelah kiri, membuat mukanya seperti siluet. Kalau ada orang duduk di depannya, pastilah bisa melihat wajah dia lebih jelas. Wajah itu, mungkin bersemu kemerahan, karena darah terkumpul ke halaman depan, wajahnya. Begitulah 'kekeliruan' itu terjadi! Aku bisa dengan leluasa menyalahkan aksi tidak-berpikir-dulu atas akibat ikutan ini, juga sebuah kalimat yang entah aku gali dari gunduk ingatan yang mana; merekalah tersangka utama.

Di lain waktu dia datang dengan senyum terkembang di wajahnya. Aku khawatir itu akan menjadi senyum permanen. Hal yang melegakan, sebenarnya, dari pada harus melihatnya murung dan tak memiliki teman bicara. Nah, itu dia. Dia mulai tampil mengusili orang, mengambil sket wajah yang sedang digarap masing-masing dengan tekun, menjajarkan sket wajahku dengan sket wajah orang lain. Cocok jadi pasangan, begitu dia berkata di hadapan pada hadirin dan tuan guru yang mulia.

Belakangan aku mengetahui, ada orang tertentu yang ketika suka pada orang lain kemudian menjadi sangat usil.

Namun aku tidak merespons.

Atau, haruskah aku?

*

"Coba kalau kamu seperti Anggi, Fin" celetuk si Ejo padaku suatu hari, "tapi aku nggak bisa bayangin kamu semenor itu," tambahnya lagi, tertawa lebih keras. Benar-benar, aku sangat ingin menjitaknya!

"Kamu menyenangkan lo, kalau diajak ngobrol. Sini, sini, sama Pak Lik dulu," lambai yang lain. Ibu kantin cekikikan. Aku berharap sesi fotografi yang rumit sedunia ini segera berakhir. Ini sudah masuk jaman baru, digital. Kenapa masih mengengkol film?

Lingkungan kantin dipenuhi anggota kelas kami yang riuh terlalu gembira seperti anak-anak menunggu bus darmawisata. Tiga meja masing-masing sebesar setengah meja pingpong dengan lengkungan fiber, lembaran kertas kalkir, gelas-gelas dan mangkuk-piring cantik, tisu, daun-daun, bebungaan, dan sekompi pengikut kelas fotografi yang kelaparan. 

Kami tahu halaman di samping kantin adalah luasan yang sesuai, mengingat kami sangat membutuhkan cahaya matahari langsung sementara langit sedang mendung. Cahaya yang sesuai dari pada selalu berharap cahaya "selalu pukul sepuluh pagi". Namun dengan segala hormat, kami juga tidak bisa menolak gejala ketidakseimbangan badani yang melanda; aroma masakan ibu kantin terlalu menyayat-nyayat indera.

Satu jam berlalu. Kelompok Ejo sudah maju. Tinggal kelompokku yang entah mengapa semuanya perempuan, memotret cendol dan onde-onde, model foto paling kece pilihan hati, dengan embel-embel setangkai daun menjari. Orang lebih sering menyebutnya daun penolak bala, yang lain menyebut kerabat palem itu sebagai penjalin, yang oleh Netti, dengan tanpa rasa iba, dirampas dari samping selasar. Aku menjadi penanggung jawab atas onde-onde dan gelas-gelas cantik bagi kelompokku, sementara cendol, dengan mudah didapat dengan melobi ibu kantin. Aku berharap mereka sudah membayarnya.

Table set bagi sesi fotografi memang berbeda dengan dining. Yang paling penting adalah citra diri sang cendol dan onde-onde yang tertangkap negatif film. Jajanan tradisional itu, dengan teknik yang baik, bisa naik pamor. Satu hal lagi, tentu, background itu sangat penting. Netti memastikan lampu hijau sudah menyala dari view finder, ruang 'intai' kamera, bertanya berulang kali. Sekali lagi, memastikan diafragma dan fokus, dari pada setelah dicetak hancur lebur, gagal maning. Jemari tangan kirinya melentik, seperti isyarat 'oke'. Aku tidak tahu kapan terakhir kali dia berlatih mengeker kamera. Setahuku dia sangat rajin hadir, duduk bersebelahan dengan Anggi, yang kuketahui selanjutnya mereka ternyata satu kosan. Apa menggenggam lensa dengan cara jemari seperti yang mereka lakukan, para perempuan itu, begitu itu, lebih feminin? Cara spesifik itukah yang dilakukan perempuan ketika memperlakukan lensa kamera? Aku menunggu mereka selesai, mematut-matut model paling penurut, gelas-gelas dan dedaunan itu. Kabar baiknya, giliranku ialah gong bagi kelompokku. Para lelaki memunguti alat kerja mereka. Meja-meja besar dengan lengkungan fiber telah kosong dilap bersih.

Para lelaki itu menunggu dengan hampir kehabisan tandon sabar. Sumber air kesabaran sedang digempur kemarau panjang, rupanya. Atau mungkin mereka sedang enggan mengerek timba, satu-satunya alasan untuk tetap murka.

"Kalian bisa nggak sih? Sudah siang nih." Salah satu di antara mereka yang sejak sebelumnya mengamati kami dengan teliti di undakan, Kris, menarik cubitan celana jins di lututnya lalu bangkit mendekat.

"JANGAN MENGGANGGU!" sambutku garang.

Aku merengut. Giliran Nita kuarahkan untuk menggerakkan jari-jari daun mendekat sementara aku melingkarkan jari telunjuk dan ibu jari pada genggam tangan kiri, menemukan kombinasi fokus-diafragma yang sesuai. Sebuah latar bagi sirup ungu yang berleleran 'embun' es, alternatif untuk cendol yang secara paksa grup lelaki minum, dengan dalih kehausan dan kelompokku sudah selesai. Apa mereka tidak tahu aku sedang berupaya?!

Pekan berikutnya, lihat saja, kelompok siapa yang paling keren komposisinya.

Sisi menarik perempuan itu adalah ketika punya selera seni yang bagus, salah satu 'paham' yang aku gigit dengan gigi geraham. Mereka akan membuat komposisi dari beragam bahan dan media, menjadi buah karya cemerlang yang akan terkenang sepanjang masa. Hal itu sudah terbukti. Kelompok kami dengan skor tertinggi. Tentu itu membanggakan. Namun sayangnya waktu itu, dia tidak masuk.

*

"Saya buta warna, Pak."  

Aku mengerling meja guru kami, Tuan Affandi---sungguh nama yang serupa dengan tuan maestro lukis legendaris---tidak sengaja 'menguping'. Dia berdiri di situ, memerhatikan tuan guru. Mereka berdua bicara sangat serius.

"Lalu bagaimana caramu membedakan warna? Bukankah pekerjaan ini nantinya akan membutuhkan kepekaan terhadap bentuk dan warna? Aku yakin bentuk tak masalah bagimu. Tetapi warna?"

Setelah kalimat perbincangan itu, aku tak lagi memerhatikan isi pembicaraan mereka. Seseorang di belakangku menepukku agar memiringkan kepala supaya dia dapat melihat objek gambar di depan papan tulis. Terlalu berisik untuk mendengar lebih banyak, apalagi bahuku diguncang-guncang terus.

*

"Aku punya buku. Tebal, tapi. Buku bagus. Mau baca?"

Demikian kalimatnya terucap suatu kali ketika dia masuk dan menunggu kelas ilustrasi bersamaku. Lorong dengan lis jendela-pintu kelabu yang hening itu, membuat suaranya mendominasi, membuatku seketika menoleh padanya yang dari posisiku, duduk di kiri.

Dia berkata punya buku bagus, tapi milik kakaknya yang di universitas. Orang yang menulis buku itu juga membuat videonya menyebar ke segala penjuru dunia. Buku yang cukup tebal tetapi menarik dalam waktu yang bersamaan, berisi perjuangan dan kesulitan hidup. Buku yang kusangka, sejak sekolah menengah atas sangat ingin aku baca hingga tuntas. Dia berjanji akan membawakannya supaya bisa kulihat hari berikutnya. Rupanya benar. Dia menepati janjinya. Itu buku yang kumaksud.

Sampai aku menyelesaikan buku itu, dia tidak datang-datang lagi.

*

Pelankan langkahmu!

"Iya."

Lebih pelan lagi.

"Iya."

Buru-buru amat.

"Hmm ..."

Kepalaku mungkin berdengung karena matahari siang sangat terik. Sudah lepas dhuhur. Tapi aku tak ingin lekas-lekas lagi.***[wy]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun