Aku memperlambat jalanku, menuruti anjurannya yang lebih dekat dengan keluhan dan kritik itu. Sejak percakapan kami menuju barak parkir, pada siang hari yang membelah kepala itu, dia menyerewetiku, bagaimana laki-laki menyukai perempuan.
Dengan kata lain ketika itu, kecurigaanku, aku sedang di-training.
*
Lelaki penganut mahzab setelan warna pakaian yang tidak terlalu 'serasi' itu, duduk bersebelahan denganku di deretan kursi plastik sepanjang lorong. Seringai lebarnya kerap muncul di sela-sela obrolan kami tentang apa saja. Di belakang kami, ruangan ilustrasi masih dipakai jurusan lain. Lima belas menit lagi kelas dimulai, tapi baru kami yang sampai di situ. Tak ada pilihan lain kecuali menunggu.
Tiba-tiba dia bercerita tentang keluarganya. Menceritakan kakak perempuannya yang kuliah di universitas negeri dekat tempat kami belajar, tentang harapan orangtuanya dan masa lalu yang mendebarkan jantung sekaligus membikin habis perasaan keluarganya. Dia bahkan menunjukkan bekas sambaran peluru polisi di betis padaku.
Aku mengerling bekas luka itu, dan lebih banyak lagi bekas luka yang dia miliki.
Dia akan terdesak untuk menangis jika dia perempuan. Demikian batinku menduga. Mata itu menangis secara tersembunyi. Sudah. Sudah mengalir jauh di dalam sanubari yang dicekik masa lalu, meski dia terlihat berharap akan segera berlalu. Aku mengangguk memahami ketercekikan perasaan itu. Salah satu alasannya adalah karena aku kepala suku. Lima perempuan dibanding dua puluh tujuh laki-laki. Sungguh rasio yang menakjubkan. Harus mengayomi sedemikian banyak perasaan lelaki yang tercekik dicabik, membuatku lebih banyak berhati-hati menjejakkan kaki di pecahan kaca dan duri, sedangkan teman perempuan yang lain adalah pengikut yang 'terserah padamu lah'.
Dia sampai pada pembahasan rumah dan kegiatan memasak.
Sebuah pertanyaan mendadak menyeruak: kapan terakhir kali aku memasak?
Ingatanku terpurba dari masak-memasak adalah keterpaksaan. SD kelas satu. Tumis sawi. Aku satu-satunya 'seseorang' di rumah. Semua racikan sudah tersedia. Misi itu terlewati dengan sukses, syukurnya. Sangat legam. Terlalu banyak api.
"Lelaki yang bisa memasak itu orang yang sayang keluarga," celetukku tanpa banyak berpikir.