Mohon tunggu...
Wening Yuniasri
Wening Yuniasri Mohon Tunggu... Guru - Pelajar kehidupan - Nominator Best in Fiction Kompasiana Awards 2024

Menulislah, maka engkau abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki yang Melambatkan Langkah

4 September 2024   23:27 Diperbarui: 4 September 2024   23:29 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Table set bagi sesi fotografi memang berbeda dengan dining. Yang paling penting adalah citra diri sang cendol dan onde-onde yang tertangkap negatif film. Jajanan tradisional itu, dengan teknik yang baik, bisa naik pamor. Satu hal lagi, tentu, background itu sangat penting. Netti memastikan lampu hijau sudah menyala dari view finder, ruang 'intai' kamera, bertanya berulang kali. Sekali lagi, memastikan diafragma dan fokus, dari pada setelah dicetak hancur lebur, gagal maning. Jemari tangan kirinya melentik, seperti isyarat 'oke'. Aku tidak tahu kapan terakhir kali dia berlatih mengeker kamera. Setahuku dia sangat rajin hadir, duduk bersebelahan dengan Anggi, yang kuketahui selanjutnya mereka ternyata satu kosan. Apa menggenggam lensa dengan cara jemari seperti yang mereka lakukan, para perempuan itu, begitu itu, lebih feminin? Cara spesifik itukah yang dilakukan perempuan ketika memperlakukan lensa kamera? Aku menunggu mereka selesai, mematut-matut model paling penurut, gelas-gelas dan dedaunan itu. Kabar baiknya, giliranku ialah gong bagi kelompokku. Para lelaki memunguti alat kerja mereka. Meja-meja besar dengan lengkungan fiber telah kosong dilap bersih.

Para lelaki itu menunggu dengan hampir kehabisan tandon sabar. Sumber air kesabaran sedang digempur kemarau panjang, rupanya. Atau mungkin mereka sedang enggan mengerek timba, satu-satunya alasan untuk tetap murka.

"Kalian bisa nggak sih? Sudah siang nih." Salah satu di antara mereka yang sejak sebelumnya mengamati kami dengan teliti di undakan, Kris, menarik cubitan celana jins di lututnya lalu bangkit mendekat.

"JANGAN MENGGANGGU!" sambutku garang.

Aku merengut. Giliran Nita kuarahkan untuk menggerakkan jari-jari daun mendekat sementara aku melingkarkan jari telunjuk dan ibu jari pada genggam tangan kiri, menemukan kombinasi fokus-diafragma yang sesuai. Sebuah latar bagi sirup ungu yang berleleran 'embun' es, alternatif untuk cendol yang secara paksa grup lelaki minum, dengan dalih kehausan dan kelompokku sudah selesai. Apa mereka tidak tahu aku sedang berupaya?!

Pekan berikutnya, lihat saja, kelompok siapa yang paling keren komposisinya.

Sisi menarik perempuan itu adalah ketika punya selera seni yang bagus, salah satu 'paham' yang aku gigit dengan gigi geraham. Mereka akan membuat komposisi dari beragam bahan dan media, menjadi buah karya cemerlang yang akan terkenang sepanjang masa. Hal itu sudah terbukti. Kelompok kami dengan skor tertinggi. Tentu itu membanggakan. Namun sayangnya waktu itu, dia tidak masuk.

*

"Saya buta warna, Pak."  

Aku mengerling meja guru kami, Tuan Affandi---sungguh nama yang serupa dengan tuan maestro lukis legendaris---tidak sengaja 'menguping'. Dia berdiri di situ, memerhatikan tuan guru. Mereka berdua bicara sangat serius.

"Lalu bagaimana caramu membedakan warna? Bukankah pekerjaan ini nantinya akan membutuhkan kepekaan terhadap bentuk dan warna? Aku yakin bentuk tak masalah bagimu. Tetapi warna?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun