Dia tersenyum sambil menunduk. Menyeratuk. Menyembunyikan rasa malu-tersanjung-bahagia yang teraduk sempurna. Kata-kataku adalah sudip pengaduk itu. Sinar matahari yang menyelonong masuk dari jendela kaca mati di dinding atas sebelah kiri, membuat mukanya seperti siluet. Kalau ada orang duduk di depannya, pastilah bisa melihat wajah dia lebih jelas. Wajah itu, mungkin bersemu kemerahan, karena darah terkumpul ke halaman depan, wajahnya. Begitulah 'kekeliruan' itu terjadi! Aku bisa dengan leluasa menyalahkan aksi tidak-berpikir-dulu atas akibat ikutan ini, juga sebuah kalimat yang entah aku gali dari gunduk ingatan yang mana; merekalah tersangka utama.
Di lain waktu dia datang dengan senyum terkembang di wajahnya. Aku khawatir itu akan menjadi senyum permanen. Hal yang melegakan, sebenarnya, dari pada harus melihatnya murung dan tak memiliki teman bicara. Nah, itu dia. Dia mulai tampil mengusili orang, mengambil sket wajah yang sedang digarap masing-masing dengan tekun, menjajarkan sket wajahku dengan sket wajah orang lain. Cocok jadi pasangan, begitu dia berkata di hadapan pada hadirin dan tuan guru yang mulia.
Belakangan aku mengetahui, ada orang tertentu yang ketika suka pada orang lain kemudian menjadi sangat usil.
Namun aku tidak merespons.
Atau, haruskah aku?
*
"Coba kalau kamu seperti Anggi, Fin" celetuk si Ejo padaku suatu hari, "tapi aku nggak bisa bayangin kamu semenor itu," tambahnya lagi, tertawa lebih keras. Benar-benar, aku sangat ingin menjitaknya!
"Kamu menyenangkan lo, kalau diajak ngobrol. Sini, sini, sama Pak Lik dulu," lambai yang lain. Ibu kantin cekikikan. Aku berharap sesi fotografi yang rumit sedunia ini segera berakhir. Ini sudah masuk jaman baru, digital. Kenapa masih mengengkol film?
Lingkungan kantin dipenuhi anggota kelas kami yang riuh terlalu gembira seperti anak-anak menunggu bus darmawisata. Tiga meja masing-masing sebesar setengah meja pingpong dengan lengkungan fiber, lembaran kertas kalkir, gelas-gelas dan mangkuk-piring cantik, tisu, daun-daun, bebungaan, dan sekompi pengikut kelas fotografi yang kelaparan.Â
Kami tahu halaman di samping kantin adalah luasan yang sesuai, mengingat kami sangat membutuhkan cahaya matahari langsung sementara langit sedang mendung. Cahaya yang sesuai dari pada selalu berharap cahaya "selalu pukul sepuluh pagi". Namun dengan segala hormat, kami juga tidak bisa menolak gejala ketidakseimbangan badani yang melanda; aroma masakan ibu kantin terlalu menyayat-nyayat indera.
Satu jam berlalu. Kelompok Ejo sudah maju. Tinggal kelompokku yang entah mengapa semuanya perempuan, memotret cendol dan onde-onde, model foto paling kece pilihan hati, dengan embel-embel setangkai daun menjari. Orang lebih sering menyebutnya daun penolak bala, yang lain menyebut kerabat palem itu sebagai penjalin, yang oleh Netti, dengan tanpa rasa iba, dirampas dari samping selasar. Aku menjadi penanggung jawab atas onde-onde dan gelas-gelas cantik bagi kelompokku, sementara cendol, dengan mudah didapat dengan melobi ibu kantin. Aku berharap mereka sudah membayarnya.