"Wah, baguslah kalau begitu. Jadi jadwal ini tidak mengganggu mereka," kata Rara sambil menyerahkan selembar map berisi presensi les. Dyah menyambut dan mengamatinya.
Â
"Nama mereka sudah benar, kan? Khawatir ada yang keliru." Dyah tersenyum, "Sudah benar." Tahun ajaran ini si adik kelas satu, laki-laki, belum bisa membaca. Kakaknya, kelas lima, ancang-ancang untuk naik kelas enam. Segala hal yang paling mungkin agar mendapat "prestasi" maksimal.
Â
"Dulu, ketika aku pertama kali tinggal di sini, aku juga sering ke masjid setiap kali sembahyang." Rara menyimak, memerhatikan wajah Dyah yang kemudian serius. "Tapi ada seseorang yang komentarnya menyakitkan hati." Tatapannya mengarah bangunan bercat hijau di seberang jalan itu. "Begitulah, aku tak mau lagi ke situ. Daripada jadi ribut. Wah, padahal pengin ke situ terus." Dagunya dimajukan, seolah-olah menunjuk tempat yang dimaksud. Rara tak dapat mengelak suasana melankoli itu. Merindukan sembahyang di masjid tanpa mengambil hati umpatan orang lain adalah pekerjaan yang sangat besar. Map bening itu disorong kembali pada Rara.
Â
"Dibiarkan saja. Coba 'kepala batu', bagaimana? Tetap datang ke situ," kata Rara sambil memerhatikan bangunan hijau di seberang jalan. Seorang bapak mengalirkan keran dan berwudu.
Â
"Nanti ada yang merah kuping."
Â
"Kamu?"