Mohon tunggu...
Wening Yuniasri
Wening Yuniasri Mohon Tunggu... Guru - Pelajar kehidupan

Menulislah, maka engkau abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan

24 Juli 2024   17:55 Diperbarui: 24 Juli 2024   17:56 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertemuan

cerpen oleh: Wening Yuniasri

Aku mencarimu di semua linimasa. Setengah putus asa. Aku memintamu untuk datang. Cepat dan tak terlambat. Semua penggalian arkeologi ini harus diakhiri. Akan kunyalakan lentera keberanian yang lebih terang, di sepanjang jalan yang kemudian kulalui. Takdir milikku sendiri. 

Baca juga: Siapa Namamu?

Aku menutup tulisan serampangan segera setelah pintu kaca dibuka, menikmati antrean; pemeriksaan demi pemeriksaan. Menatap langit lapang dan mengisi banyak-banyak udara bebas ke dalam rongga pernapasan. Dari sini, hati dan jiwaku seolah-olah ingin melonjak terbang melebihi awan.

*

Meninggalkan daratan untuk meloncati tempat-tempat indah, barangkali itulah hal terpenting dari semua pertanyaan tentang keinginan dan cita-cita. Hal yang semua pelajar pernah menjawabnya, dengan penuh perhatian, sepertinya. Jika bukan sekadar iseng untuk memenuhi kolom pertanyaan. Namun bagiku, ini bagaikan rancangan doa-doa yang di kemudian hari akan terkabul. Sebuah mantra. Dengannya, sebagian besar desakan hati yang ditulis sekian tahun berselang, terjawab.

Baca juga: Perayaan

Tiga harapan. Dari tiga harapan itu, aku menulis ingin keliling dunia. Aku ingin mereka terpajang dengan sukaria, dibaca ratusan mata. Namun rupanya, sudah menjadi takdir bahwa harapan yang pertama saja yang ikut tercetak. Tidak mengapa sedikit kecewa. Lagipula, kelak juga akan terwujud. Demikian dulu aku berkesimpulan. Inilah, semuanya akan tepat. Garis takdir tidak akan meleset se-unit ukuran terkecil pun yang bisa diperkirakan manusia.

Meskipun ada kemungkinan seluruh hal terkabul, di antara semua harapan itu, tidak ada yang 'dengan sembrono' menuliskan ingin menikahi si anu. Tiba-tiba aku tertawa kecil terhadap pemikiran ini dalam perjalananku menaiki anak tangga dan menemukan sapaan wanita muda di pintu. Senyumku tetap bertahan di sana. Menyusur lorong, mencocok-dapatkan tempat, dan duduk. Melemparkan perhatian pada rumput dan gerumbul pepohonan. Pada batas horison. Aku menyamankan diri, meraih buku bersampul hitam, menyentuh sekilas sebuah ornamen kuning di salah satu sudut, lalu menggores lembar demi lembar dengan penuh minat; mengabaikan hiruk-pikuk penumpang mengulur-julurkan badan dan barang bawaan. Di luar jendela, sebuah sayap putih merentang berkilauan dengan gagahnya.

Bangku-bangku segera penuh. Dalam benak orang-orang yang pernah kutanyai, jumlah ini, persangkaan mereka, bukanlah jumlah yang banyak. Barangkali karena citra ruangan yang terkesan sempit ini, dan ratusan orang yang bergerak memenuhi setiap nomornya. Atau karena mereka hanya sibuk melihat deret kursi yang mereka naiki, seterbatas penglihatan yang mereka kehendaki saja.

Sebuah empasan badan di sisi kananku diikuti dehaman dan suara yang tiada asing. Tapi, bukankah di dunia ini selalu ada kemungkinan kemiripan wajah dan suara manusia? Demikian pula yang aku sampaikan di sebuah forum, lima jam sebelumnya. Sebuah ruang penuh riuh berseragam dan orang-orang muda yang penuh antusias. Suara ini bisa jadi siapa saja. Demikian aku berketetapan. Aku membalik halaman kertas dan menulis lebih banyak. Jadi, perlukah aku mengonfirmasi?

Terhenti di lembar berkolom, mengingat waktu dan tempat, aku mulai terganggu pertanyaan yang mulai membelit pemikiran, distraksi yang kubuat sendiri: Dari sekian banyak kombinasi wajah-suara-gestur, adakah kemungkinan 'tidak mungkin mirip', sehingga kita bisa menarik kesimpulan bahwa ini bukan -- dan tidak mungkin -- A, melainkan B?

Kukerling penumpang yang belum lama duduk kemudian berdiri membenahi bawaannya di aisle. Demi membuktikannya.

Tuhan, orang ini. Sosok yang hampir-hampir seperti orang yang pernah kukenal jauh sebelumnya. Di masa yang silam. Tapi apakah mungkin ini orang yang sama? Apakah ada kemungkinan itu? Di tempat ini? Saat ini?

*

Ruang persegi berubin kelabu itu mendominasi masa yang lembap. Lalu lalang manusia muda yang penuh semangat, sedang 'belajar' mengatasi rasa suka dan persaingan. Yang lain, beberapa pasang,'pura-pura' berjanji.

"... saling mendoakan ya, Da."

"Hm? Kenapa?"

Tersenyum geli, aku menggelengkan kepala kuat-kuat, "Berusahalah. Kamu mau ke mana setelah ini?"

"Bandung. Kamu, Na?"

"Mungkin ke Surabaya."

Barangkali itulah percakapan terpanjang dan terlama kami di tahun terakhir. Mungkin. Kami sibuk dengan segala kemungkinan. Salah satunya, kemungkinan terhadap pertemuan.

*

Pesawat telah mengangkasa, sementara kami duduk dan membicarakan segala sesuatu. Tepatnya, sedikit hal. Sangat sedikit, malah. Kami, sekarang ini dalam satu luasan ruang, bersebelahan. Ada banyak bahan untuk diumpankan, tapi tenggorokanku, pita suaraku sedang dibajak luapan perasaan. Dugaan itu, benar.

Sebuah memo tersodor. Tidak banyak yang berubah dari tulisan tangannya. Rupanya dia mengerti benar bahwa kesunyian dalam kabin ini bisa menjelma corong informasi, pengumuman yang cukup 'bising' bagi semua orang.

Hai,

Kertas itu terangsur dengan lugu, membuatku sedikit kikuk untuk mengambil dari jemari tangannya yang kukuh.

Bisa kurasakan senyumnya membujuk agar kuambil helai kelabu itu segera. Tidak berhasil. Aku mematung secara sempurna. Detik telah menjauh tiga tonggak dari titik berangkatnya. Dia menulis lagi.

Apa kabar?

Empat puluh derajat dari garis normal, kepala bergerak. Sebuah tolehan tanggung. Kulirik lembar yang terjepit di antara ibu jari dan telunjuknya, menarik perlahan kertas darinya, mengingat di mana pulpen kuselipkan. Di mana gerangan ia? Ada di suatu tempat, aku mencoba mengingat. Di pelosok paling udik tas tangan. Bukan. Ia ada di sela buku yang baru kutulisi jadwal baru. Agenda.

Dia mengangsurkan pena padaku. Tapi aku keburu menemukan milikku. Tergagap meraihnya.

Sehat. Kau apa kabar? Kupenuhi rongga pernapasanku yang tiba-tiba menyempit, penuh-penuh, satu-satunya pertolongan yang mungkin kulakukan. Apakah kadar oksigen ruang ini sedemikian tipisnya?

Banyak hal telah terjadi. Kau bertambah tenar dan percaya diri, agaknya. Sambungku kemudian. Sebuah awalan yang terlalu panjang.

Tidak membutuhkan banyak waktu, dia menjawab.

Baik, sehat, sepertimu. Kau juga, semakin tegar dan banyak relasi.

Beberapa eksibisi dan 'book signing', rupanya. Dari luar kota?

Dia bahkan mengetahui aku sering bepergian.

Dari beberapa kota. 'Safari'. Kau sendiri? Ada pertemuan bisnis yang sangat penting di luar pulau?

Kuangsurkan memo kembali padanya. Diamat-amati tulisan itu, dipatut-patut sambil tersenyum. Dia sepertinya akan membutuhkan lebih banyak waktu.

Aku menolehkan wajah ke kerumunan awan. Mengalihkan perhatian. Mencitrakan seekor anak ayam berlarian di atasnya. Tersenyum mencitrakan seekor lagi, dengan bulu yang lebih terang, terhenti menunggunya. Semua jadi terdengar hening. Tiada disangka, dia berbisik.

"Aku rindu."

Aku terjebak. Terjebak dalam kekalutan. Di sini, tiga puluh ribu kaki dari muka bumi, sementara gigil mendadak menyergap, aku merasakan keinginan untuk meloncat ke luar!

*

[Nanti pulang langsung ke rumah ibu, kan?]

[Iya]

*

"Aku melihat. Membaca. Dan anehnya selalu menantikan kelanjutannya. Lembar demi lembar. Semua kalimat dan diksi. Sangat gamblang. Semua tentangku, kan?" todongnya tanpa ragu.

"Kejadian di balkon, dan semua narasimu itu. Aku tahu dengan pasti bahwa kau, sekejap pun tak bisa melupakannya."

Sebuah balingan yang menohok. Bagaimana jika itu semua benar dan aku tak menyadarinya?

"Mana mungkin," jawabku. Namun dengan segera batinku menganulirnya.

Genggam tanganku mengerat dengan segera, mencengkeram kain di pangkuan. Kekuatan, aku bahkan lebih membutuhkannya dibanding siapa pun di dunia ini!

Adalah sebuah takdir bahwa kami bertemu-muka dengan cara begini. Perpaduan waktu dan tempat yang 'tepat'. Sekarang, dari mana lagi kumulai berancang-ancang? Dinding di kanan-kiriku mengepung, jalan di belakangku buntu.

*

Ponsel terbenam dalam-dalam. Mati daya. Namun, sebuah pesan aplikasi dari kakak perempuan, terdedah di hadapanku; langsung ke rumah ibu, kan? Ia tentu sudah memperkirakan peristiwa sore nanti. Sebuah pertemuan dan aku sedang berjalan menujunya. Menuju rancangan takdir berikutnya.

Lalu orang ini ....

Ingatanku segera terbang menjenguk orang-orang setelahnya. Mereka yang kujumpai setelah orang ini. Apakah mungkin aku telah terkena semacam mantra? Bahkan orang-orang setelahnya seolah-olah tereferensi ke orang pertama. Wajah, cara berpakaian, cara berkelakar, ukuran alis dan sudut mata. Jujur, ini sangat mengganggu!

"Blocknote. Aku ingin melihatnya lagi. Kau masih suka membuatnya, kan?" tanyanya menyelidik. Bahkan hal remeh semacam itu, dia mengingatnya.

"Buatan tangan. Sangat impresif."

Aku terhenyak.

*

"Jangan pulang. Makan dulu." Dikerlingnya jam besar di salah satu dinding dan menengok ke luar.

Kami saling mengenal, iya. Dahulu. Jeda yang cukup banyak ini membuat segalanya terasa lebih canggung untuk diawali kembali. Aku tersenyum mengembangkan tangan kananku, dan berlalu.

"Aku ada janji," jawabku berusaha tersenyum, "sampai bertemu lagi." Meski dalam hati, aku berharap tidak bertemu dengannya lagi di kemudian hari. Bohong. Setelah lebih dari satu dekade, aku membohongi diriku dengan sempurna.

Aku melangkah keluar segera setelah mendapatkan bagasi. Dengan kuat-kuat kutampilkan pesan pertemuan sore ini di segala papan informasi. Bergumam-gumam menyebut berulang hingga membuatnya mendengung di telinga dan kepala, melangkah lebar dengan ketukan tertegas yang bisa kubuat.

"Aku telah menangkapmu. Jangan berlari lagi."

Nanti pulang langsung ke rumah ibu, kan?

"Menikahlah denganku."

Iya. *** [wy]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun