Mohon tunggu...
Wening Yuniasri
Wening Yuniasri Mohon Tunggu... Guru - Pelajar kehidupan

Menulislah, maka engkau abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perayaan

17 Juli 2024   22:14 Diperbarui: 17 Juli 2024   22:29 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perayaan

cerpen oleh: Wening Yuniasri

Kereta membawanya ke pedalaman pulau rindu berkabut ragu

Jendela bergeretak memacu detak yang terkesiap

Mimpi, seperti episode yang diulang-ulang

**

"Lila! Ayo cepat!"

"Iya, ini belum masuk."

Aku memberengut mendengar hardikan penuh gegas itu. Perjalanan ini bukan untuk liburan. Dan yang lebih menyakitkan lagi, untuk sebuah perayaan. Tidak ada hadiah. Aku hanya memerlukan sebuah perjalanan. Tolong, bawa aku ke sana tanpa perlu mendengar gerutuan dan sejenisnya.

Aku tidak terlalu menyukai perayaan. Bahkan hari jadiku. Apalagi hari jadi orang lain. Dan demi kesopanan, aku sangat ingin mengingkarinya. Aku tahu, tidak semua perayaan menyakitkan, aku hanya perlu keluar dari perasaan sakit ini, segera.

Tiga orang yang berbincang di depan tidak menunjukkan empati pada dua perempuan yang terlalu buru-buru untuk menyambar cokelat hangat atau jahe panas yang berkepul dalam imajinasi, dalam keadaan hujan semacam ini. Ini tidak seru. Membayangkan kenikmatan di antara semua waktu yang menipis ini, bukan hal yang menyenangkan. Udara sepertinya juga turut menipis.

Kuhela napasku. Tas punggung dekil yang baru kurencanakan untuk kucuci hari berikutnya setelah perjalanan hiking, kukemas lagi. Derit retsliting mengakhiri kecemasanku yang bertubi-tubi. Siapa lagi pencetusnya? Dialah yang merasa akan tertinggal segalanya, kawan seperjalanan yang aku berharap bisa bersabar dengannya.

"Kereta atau bus, bagusnya?"

"Kalau dik Han maunya naik bus saja, lagipula terminal dekat dengan tempat tinggalnya. Kalau naik kereta jauh juga dari rumahnya, nanti ketemu di sini juga setelah satu setengah jam."

"Kalau kita mau ikut ke sana naik bus yang sama, kita jalan ke sana juga sama, satu jam."

"Ya sudah ke stasiun saja yang lebih dekat, setengah jam ini. Paling lama 45 menit."

"Hm. Lalu siapa yang berangkat?"

"Aku sendiri karena kakiku tidak bisa diajak pergi jauh, di rumah saja. Kalian?"

"Aku ada kerjaan besok pagi, tidak bisa ditinggal. Kalau hari libur saja, bisa sepertinya, ikut."

"Bagaimana Oom?"

"Yaa, karena aku luang besok, aku ikut, tapi masa hanya sendiri?"

Aku mondar-mandir sambil mengusap wajahku dengan pelembab. Menenteng air minum, saudariku bertanya, "Kita nanti bareng, kan? Naik kereta, kan?"

"Iya."

Bedak aku balurkan tanpa mengerling cermin.

"KTP," kataku menodong dengan telapak tangan terbuka. Air minum berpindah tangan. Sebuah dompet didekatkan ke tanganku. "KTP. Dan uangnya, kalau ada."

Aku tak menghiraukah kernyitan kening itu dan berjalan dengan ketukan langkah yang mantap. Tiga orang yang masih memperbincangkan segala kemungkinan itu, masih belum beranjak. Masih belum memutuskan sesuatu. Musyawarah yang payah. Ini sudah jam empat sore.

Tas kuletakkan di ambang pintu. Ketiganya menengok serentak, menghentikan perbincangan. Cahaya mata mereka menyatakan kalimat tanya beruntun, tapi segera kupotong, "Naik kereta berdua. Ini KTP kami. Perjalanan ke stasiun dari sini 45 menit, jam pulang kantor. Tolong Oom belikan, kami akan keluarkan motor," aku mengangsurkan sebuah sampul putih, "kalau Oom bersama kami juga, masih ada waktu untuk bersiap setengah jam. Kita bertemu di pintu selatan."

"Kalian berdua?"

Aku mengangguk dan berlalu ke dalam rumah. Kamarku. Masih teronggok handuk basah di sana. Aku tak membutuhkan saran yang melingkar dan berkitar. Ini sudah terlalu terlambat.

*

Aku ingat pernah pergi dengan bibi hari raya yang lalu.

Aku tidak.

Dia sangat penyayang.

Itu menurutmu.

Dia bahkan tidak pernah marah.

Jangan tertipu asumsimu sendiri.

*

Aku dan alam pikiran teman perjalanan sebangku yang menekuri jendela, saling bercakap-cakap. Tentang kenanganku bersamanya, aku tak tahu pernah meletakkannya di mana. Mengenai adik perempuan ibuku, aku hanya ingat pernah dimarahi karena malas mencuci baju. Kenangan yang tak terlalu membantu pada saat seperti ini.

Kereta terus berderak, melewati simpang jalan raya. Di belakang palang itu, orang-orang terhenti dalam waktu tunggu yang sebentar, dalam gerutuan yang samar atau ternyatakan. Tapi mereka menunggu, nyatanya, hingga kami berlalu.

Aku terpekur. Segala pikiran menerabas masuk, tangkas dan gesit. Meloncati bangku-bangku gerbong. Dengan segera mengenali dan menemukanku.

Aku datang. Aku datang meski kau pulang. Di sana mungkin bukan rindu, dan kuharap bukan sendu. Tapi sepertimu, aku berharap aku juga bisa pulang. Dengan selamat.

Paman yang pergi bersama kami sudah menyatukan kedua kakinya di bangku. Tak seorang pun duduk di sana, kecuali dirinya. Dengkurannya dan derap laju kereta, sama kuatnya.

Akan sangat meringankan seandainya bisa memejam. Percuma. Tak bisa. Aku mengerling teman seperjalanan di sampingku. Ia masih di situ. Menumbuk-numbuk kaca jendela dengan tatapan sedihnya.

Tangan kanan kubenamkan ke dalam ransel, menggapai-mengenali sebuah bungkusan.

"Makan?"

Roti isi cokelat yang bertetangga dengan stroberi dan krim kacang dalam kubus kekuningan kusorongkan. Aku tahu dia akan menolak. Ini sudah lewat jam makan malam. Di antara berbagai perasaan yang ada, aku hanya terpikir bahwa aku mungkin merasa lapar. Melihatnya menolak, sepertinya aku juga akan kehilangan selera makan.

"Makanlah, meski tidak selera. Kita harus tegak badan esok."

Sebuah, stroberi, disambutnya dengan enggan.

Beberapa orang di gerbong kami turun. Masih dua tempat berhenti lagi. Dua orang yang pergi bersamaku sudah terjaga. Aku tak tahu lagi bagaimana bau mulutku setelah makan manis semalam. Air putih, ternyata tidak cukup membantu meskipun berguna. Aku teringat sikat gigi yang terbenam di pelosok ransel.

Jatinegara. Stasiun yang 24 tahun lalu kami jejak dalam kegembiraan mengantar pengantin baru, baru dijejak lagi pagi ini. Orang yang sama. Untuk satu alasan yang tidak bisa ditolak lagi. Meski tidak ada kantuk membanduli, kami tidak bisa bersorak lagi. Sebuah perasaan menggantung, seperti sebuah jam bulat pada sebuah tiang, mengingatkanku akan plang sebuah toko cenderamata di pusat kota. Dia mengatakan sekarang jam 3 pagi.

Kami sudah melangkah meninggalkannya, tapi perasaanku masih tersangkut di sana.

Haruskah kami di sini, melewatkan kenyataan bahwa banyak yang menunggu juga? Sama seperti kami? Sama seperti manusia yang lainnya? Manusia telah banyak menunggu, untuk beragam alasan. Tapi hanya satu alasan yang pasti dan tidak akan terlewati.

Orang-orang tertidur dialasi lantai kehijauan. Memikirkan ini, menimbulkan lebih banyak wasangka. Aku dan orang-orang itu juga sama, sama-sama menunggu. Tertegun, kami berjalan dengan ragu.

Jalan saja. Ada di pintu.

Penjemput itu bermata sembab. Dia tak banyak bicara. Di pintu keluar itu, tangannya terangsur, menyalami dengan erat. Aku tahu, kami perlu saling mengalirkan energi untuk siap terhadap yang mungkin terjadi hari ini. Sepertinya segala jawaban sudah terdedah bersama genggam jabat tangan itu, berpindah ke atas tapak tanganku. Denyut-desir nadi menerka-nerka tulisan di situ. Meski sudah jelas, meski tidak perlu bertanya.

*

Ini sih gagal stroberi!

Padahal itu murbei.

Jagung yang waktu kita di Puncak, sudah habis! 

Itu bude juga ikut dibagi lo, makasih ya Tante! Begitu katanya.

Tetangga depan rumah pasti juga ingat.

Makannya pakai ketan, Nok! 

Setusuk sate maranggi itu dilahapnya dengan gembira. Padahal aturan makan sangat ketat.

Tanganmu panas, kayak anakku. Bisa buat setrika. Sini! Bibi disetrika dulu!

Badannya pasti kedinginan.

Huh, dari dulu Bibi pengin ke Puncak. Baru sekarang kesampaian, padahal dekat, ya, ahahaha ...!

Meskipun sudah lima kali ke Bali?

Kamu kesemutan, nggak?

Meskipun iya, aku takkan mengaku.

Yang itu apa sih, Nok? Orang jejeran?

Meskipun bukan, kau mungkin tak percaya.

*

Di seberang jalan tol pohon berjajar, rimbun. Aku menatapnya yang sedang memandang melalui kaca jendela mobil baru miliknya. Pandang mata tak-kuasa-menolak-takdir dia jerumuskan bersama rintik hujan sore itu. Kaki dinginnya masih dalam pangkuanku. Seorang saudara ipar menyetir untuk kami. Dalam perjalanan itu aku memeroleh sesuatu: dalam kesedihan yang setengah kalut, bahkan penglihatan pun bisa saling menipu.

Aku mungkin akan mengalami peristiwa seperti ini, menghadapi perayaan yang lain dalam haru yang sama, mengenang-ngenang yang pernah terlewati. Aku berharap segera bangun dari ketidaknyataan ini.

Bagaimana pun juga, aku menyayangimu.

Keabadian itu dekat. Gerbangnya bernama kematian. 

Dari kejauhan kudengar lengking peluit panjang. Kereta segera berangkat.***[wy]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun