Itu menurutmu.
Dia bahkan tidak pernah marah.
Jangan tertipu asumsimu sendiri.
*
Aku dan alam pikiran teman perjalanan sebangku yang menekuri jendela, saling bercakap-cakap. Tentang kenanganku bersamanya, aku tak tahu pernah meletakkannya di mana. Mengenai adik perempuan ibuku, aku hanya ingat pernah dimarahi karena malas mencuci baju. Kenangan yang tak terlalu membantu pada saat seperti ini.
Kereta terus berderak, melewati simpang jalan raya. Di belakang palang itu, orang-orang terhenti dalam waktu tunggu yang sebentar, dalam gerutuan yang samar atau ternyatakan. Tapi mereka menunggu, nyatanya, hingga kami berlalu.
Aku terpekur. Segala pikiran menerabas masuk, tangkas dan gesit. Meloncati bangku-bangku gerbong. Dengan segera mengenali dan menemukanku.
Aku datang. Aku datang meski kau pulang. Di sana mungkin bukan rindu, dan kuharap bukan sendu. Tapi sepertimu, aku berharap aku juga bisa pulang. Dengan selamat.
Paman yang pergi bersama kami sudah menyatukan kedua kakinya di bangku. Tak seorang pun duduk di sana, kecuali dirinya. Dengkurannya dan derap laju kereta, sama kuatnya.
Akan sangat meringankan seandainya bisa memejam. Percuma. Tak bisa. Aku mengerling teman seperjalanan di sampingku. Ia masih di situ. Menumbuk-numbuk kaca jendela dengan tatapan sedihnya.
Tangan kanan kubenamkan ke dalam ransel, menggapai-mengenali sebuah bungkusan.