Mohon tunggu...
Wening Yuniasri
Wening Yuniasri Mohon Tunggu... Guru - Pelajar kehidupan

Menulislah, maka engkau abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perayaan

17 Juli 2024   22:14 Diperbarui: 17 Juli 2024   22:29 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Makan?"

Roti isi cokelat yang bertetangga dengan stroberi dan krim kacang dalam kubus kekuningan kusorongkan. Aku tahu dia akan menolak. Ini sudah lewat jam makan malam. Di antara berbagai perasaan yang ada, aku hanya terpikir bahwa aku mungkin merasa lapar. Melihatnya menolak, sepertinya aku juga akan kehilangan selera makan.

"Makanlah, meski tidak selera. Kita harus tegak badan esok."

Sebuah, stroberi, disambutnya dengan enggan.

Beberapa orang di gerbong kami turun. Masih dua tempat berhenti lagi. Dua orang yang pergi bersamaku sudah terjaga. Aku tak tahu lagi bagaimana bau mulutku setelah makan manis semalam. Air putih, ternyata tidak cukup membantu meskipun berguna. Aku teringat sikat gigi yang terbenam di pelosok ransel.

Jatinegara. Stasiun yang 24 tahun lalu kami jejak dalam kegembiraan mengantar pengantin baru, baru dijejak lagi pagi ini. Orang yang sama. Untuk satu alasan yang tidak bisa ditolak lagi. Meski tidak ada kantuk membanduli, kami tidak bisa bersorak lagi. Sebuah perasaan menggantung, seperti sebuah jam bulat pada sebuah tiang, mengingatkanku akan plang sebuah toko cenderamata di pusat kota. Dia mengatakan sekarang jam 3 pagi.

Kami sudah melangkah meninggalkannya, tapi perasaanku masih tersangkut di sana.

Haruskah kami di sini, melewatkan kenyataan bahwa banyak yang menunggu juga? Sama seperti kami? Sama seperti manusia yang lainnya? Manusia telah banyak menunggu, untuk beragam alasan. Tapi hanya satu alasan yang pasti dan tidak akan terlewati.

Orang-orang tertidur dialasi lantai kehijauan. Memikirkan ini, menimbulkan lebih banyak wasangka. Aku dan orang-orang itu juga sama, sama-sama menunggu. Tertegun, kami berjalan dengan ragu.

Jalan saja. Ada di pintu.

Penjemput itu bermata sembab. Dia tak banyak bicara. Di pintu keluar itu, tangannya terangsur, menyalami dengan erat. Aku tahu, kami perlu saling mengalirkan energi untuk siap terhadap yang mungkin terjadi hari ini. Sepertinya segala jawaban sudah terdedah bersama genggam jabat tangan itu, berpindah ke atas tapak tanganku. Denyut-desir nadi menerka-nerka tulisan di situ. Meski sudah jelas, meski tidak perlu bertanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun