"Iya."
Bedak aku balurkan tanpa mengerling cermin.
"KTP," kataku menodong dengan telapak tangan terbuka. Air minum berpindah tangan. Sebuah dompet didekatkan ke tanganku. "KTP. Dan uangnya, kalau ada."
Aku tak menghiraukah kernyitan kening itu dan berjalan dengan ketukan langkah yang mantap. Tiga orang yang masih memperbincangkan segala kemungkinan itu, masih belum beranjak. Masih belum memutuskan sesuatu. Musyawarah yang payah. Ini sudah jam empat sore.
Tas kuletakkan di ambang pintu. Ketiganya menengok serentak, menghentikan perbincangan. Cahaya mata mereka menyatakan kalimat tanya beruntun, tapi segera kupotong, "Naik kereta berdua. Ini KTP kami. Perjalanan ke stasiun dari sini 45 menit, jam pulang kantor. Tolong Oom belikan, kami akan keluarkan motor," aku mengangsurkan sebuah sampul putih, "kalau Oom bersama kami juga, masih ada waktu untuk bersiap setengah jam. Kita bertemu di pintu selatan."
"Kalian berdua?"
Aku mengangguk dan berlalu ke dalam rumah. Kamarku. Masih teronggok handuk basah di sana. Aku tak membutuhkan saran yang melingkar dan berkitar. Ini sudah terlalu terlambat.
*
Aku ingat pernah pergi dengan bibi hari raya yang lalu.
Aku tidak.
Dia sangat penyayang.