Pemerintah kemudian menunjuk PT Dini Nusa Kusama (DNK) untuk mengisi orbit, namun perusahaan tersebut juga gagal mengamankan dana yang diperlukan untuk membangun dan meluncurkan satelit tersebut.
Slot GSO 146E bukannya tanpa masalah. Kembali pada tahun 2019, selama dalam sidang International Telecommunication Union (ITU) di World Radiocommunication Conference (WRC) 2019, pemerintah Indonesia berhasil mengamankan perpanjangan tenggat waktu untuk mengisi slot GSO 123BT dan 146E masing-masing hingga 2024 dan 2023.
Posisi orbit lain yang harus kita waspadai adalah slot GSO 113BT yang seharusnya diisi oleh Satelit NUSANTARA-2, yang mengalami kegagalan peluncuran tahun lalu. Sejak itu, ITU telah menyetujui perpanjangan batas waktu peluncuran hingga 2024 untuk mengisi posisi orbit, dan pemerintah telah mengalihkan konsesi dari Indosat ke Telkom.
Terlepas dari proyek satelit SATRIA-1 yang mengisi slot GSO 146BT, kita perlu mengantisipasi hilangnya slot GSO 123BT, posisi orbit yang strategis untuk satelit komunikasi. Selain itu, yang terakhir ini juga ideal untuk tujuan pertahanan dan keamanan -- bayangkan jika negara lain mendapatkan slot yang mencakup nusantara 24/7. Dengan meningkatnya ketegangan di Laut Cina Selatan, urgensi slot GSO 123BT menjadi jelas.
Pada akhirnya, pemerintah harus tetap waspada, karena bisa kehilangan tiga slot GSO, Palapa C1-B (113 BT), Garuda-2 (123 BT) dan PSN-146E (146 BT). Tidak mudah untuk mendapatkannya, delegasi Indonesia harus melalui pembahasan yang panjang dan perundingan yang alot pada tingkat sub working group, working group, dan committee di sidang tersebut. Jika Indonesia gagal meluncurkan satelit tepat waktu. Khusus untuk slot GSO 123E, Kemhan dapat berperan melalui anggarannya yang besar untuk memodernisasi kemampuan pertahanan Indonesia di luar angkasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H