Namun, hak prerogatif presiden tidak dapat dimaknai bebas lepas sepenuhnya kewenangan presiden.Â
Pasalnya terdapat rasionalisasi demokrasi, moralitas publik di dalamnya yang harus dicermati sebelum menggunakan hak istimewanya tersebut.Â
Jika Presiden Jokowi mengangkat Wakil Menteri dalam rangka menangani beban kerja Kementerian yang semakin berat dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintah, dan struktur yang baru dibentuk tersebut (Wakil Menteri) memiliki fungsi yang sangat urgent, maka tidak akan ada persoalan.Â
Namun, jika unit organisasi yang baru dibentuk kurang memiliki relevansi dan urgensitas peranan, maka akan menjadi beban yang akan menyedot anggaran organisasi.Â
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera melemparkan kritik kepada Presiden Jokowi soal penambahan jabatan Wakil Menteri Sosial (Wamensos).
Pak @jokowi mau apa? Mestinya birokrasi kita dibuat ramping. Reformasi birokrasi itu miskin struktur & kaya fungsi. Ini contoh buruk bagi pengelolaan pemerintahan ke depan. Eselon 3 dan 4 mau dihapus, tp pos wakil menteri terus ditambah.https://t.co/Y6xgiYvDGA— Mardani Ali Sera (@MardaniAliSera) December 24, 2021
Adakah Jokowi mempraktikkan politik akomodasi?
Secara politik, Pasal 17 UUD NRI 1945 jika dibaca bersamaan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Sehingga menjadi wajar, kewajiban Presiden mengakomodasi kepentingan partai secara proporsional dan profesional.Â
Pengangkatan wamen merupakan bagian dari praktik politik akomodasi. Bukan hanya berbentuk pada pemberian kursi wamen bagi politisi. Tidak sedikit pula kalangan profesional di Kabinet Indonesia Maju memiliki kontribusi pada kemenangan Jokowi di Pemilu maupun dekat dengan parpol.Â
Akibatnya, struktur kabinet justru semakin gemuk, bertentangan dengan niat Jokowi yang sebelumnya ingin merampingkan kabinet usai dilantik sebagai Presiden periode 2019-2024 pada Oktober 2019 lalu.
Sah-sah saja, Kabinet Indonesia Maju disebut kebijakan politik akomodatif Presiden, hal yang wajar dan bukan kesalahan.Â