Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Penting Tak Penting Wakil Menteri

25 Desember 2021   19:00 Diperbarui: 27 Desember 2021   00:45 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi membantu kerja Presiden. (sumber: KOMPAS)

Masa orde baru, istilah wakil menteri disebut menteri muda dengan tugas yang sama dengan wakil menteri. Kemudian, masa reformasi wakil menteri digunakan kembali mulai pada Kabinet Indonesia Bersatu II yaitu dengan 19 wakil menteri di 17 kementerian.

Pada Kabinet Kerja yaitu dengan 3 wakil menteri di 3 kementerian, dan yang terakhir yang baru saja dilantik yaitu 12 wakil menteri di 11 kementerian.  

Kamis, (23/12/2020) di Istana Negara, Jakarta. Presiden RI Joko Widodo telah melantik lima wakil menteri Kabinet Indonesia Maju. Ada 5 Kementerian di antaranya: Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian BUMN. 

Akan tetapi, Presiden Joko Widodo juga menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2021 tentang Kementerian Sosial. Perpres ini menegaskan soal keberadaan wakil menteri di Kemensos. Demikian menjadi  topik pilihan Kompasiana, 25 Desember 2021. Tercatat, jumlah total kursi wamen di Kabinet Indonesia Maju menjadi 16 kursi meski belum semuanya terisi.

Pelantikan enam menteri baru hasil reshuffle di Istana Negara, Rabu (23/12/2020). (Tangkapan layar Youtube KompasTV)
Pelantikan enam menteri baru hasil reshuffle di Istana Negara, Rabu (23/12/2020). (Tangkapan layar Youtube KompasTV)

Sesungguhnya cukup membingungkan. Apalagi, dengan adanya tambahan satu kursi wakil menteri sosial menemani Tri Rismaharini atau Risma yang tindakannya kerap menimbulkan kontroversi. 

Dan, saya berharap Presiden Jokowi masih ingat saat menyampaikan pidato kenegaraan pertamanya usai dilantik sebagai Presiden periode 2019-2024 pada Oktober 2019 lalu, Jokowi menyebut salah satu prioritas pemerintahannya di jilid II adalah reformasi birokrasi secara besar-besaran. Jokowi menyebut penciptaan lapangan kerja akan menjadi prioritas kerjanya. 

Kemudian, ada pula prioritas perampingan di pos kementerian. "Prosedur yang panjang harus dipotong. Birokrasi yang panjang harus kita pangkas," kata Jokowi, 20 Oktober 2019. 

Bahwa benar, dalam sistem pemerintahan presidensiil, Presiden mempunyai wewenang untuk mengangkat menteri sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 17 UUD NRI Tahun 1945. 

Selain itu, Presiden sebagai kepala pemerintahan mempunyai kewenangan juga untuk mengangkat wakil menteri sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara. 

Namun, hak prerogatif presiden tidak dapat dimaknai bebas lepas sepenuhnya kewenangan presiden. 

Pasalnya terdapat rasionalisasi demokrasi, moralitas publik di dalamnya yang harus dicermati sebelum menggunakan hak istimewanya tersebut. 

Jika Presiden Jokowi mengangkat Wakil Menteri dalam rangka menangani beban kerja Kementerian yang semakin berat dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintah, dan struktur yang baru dibentuk tersebut (Wakil Menteri) memiliki fungsi yang sangat urgent, maka tidak akan ada persoalan. 

Namun, jika unit organisasi yang baru dibentuk kurang memiliki relevansi dan urgensitas peranan, maka akan menjadi beban yang akan menyedot anggaran organisasi. 

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera melemparkan kritik kepada Presiden Jokowi soal penambahan jabatan Wakil Menteri Sosial (Wamensos).

Adakah Jokowi mempraktikkan politik akomodasi?

Secara politik, Pasal 17 UUD NRI 1945 jika dibaca bersamaan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Sehingga menjadi wajar, kewajiban Presiden mengakomodasi kepentingan partai secara proporsional dan profesional. 

Pengangkatan wamen merupakan bagian dari praktik politik akomodasi. Bukan hanya berbentuk pada pemberian kursi wamen bagi politisi. Tidak sedikit pula kalangan profesional di Kabinet Indonesia Maju memiliki kontribusi pada kemenangan Jokowi di Pemilu maupun dekat dengan parpol. 

Akibatnya, struktur kabinet justru semakin gemuk, bertentangan dengan niat Jokowi yang sebelumnya ingin merampingkan kabinet usai dilantik sebagai Presiden periode 2019-2024 pada Oktober 2019 lalu.

Sah-sah saja, Kabinet Indonesia Maju disebut kebijakan politik akomodatif Presiden, hal yang wajar dan bukan kesalahan. 

Jika pengangkatan wamen ini merupakan bentuk ketidakpuasan presiden atas kinerja menteri, semestinya presiden tinggal melakukan reshuffle. 

Selain membebani anggaran, beban pikir dan penyakit hati presiden semakin menumpuk, dengan persoalan wakil menteri baru yang berupaya sekuat tenaga, untuk dapat sejalan dengan visi dan misi menteri tersebut.

Padahal, sebagaimana dilaporkan laman Sekretariat Kabinet Republik Indonesia sehari setelah memperkenalkan dan melantik para menterinya yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Maju, Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin langsung memimpin Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/10) pagi. 

Dalam arahannya Presiden Jokowi dengan tegas menyatakan, bahwa tidak ada visi misi menteri, yang ada adalah visi misi presiden dan wakil presiden. 

Persoalannya, baik wakil menteri maupun menteri sebagai Pembantu Presiden, mampukah  menjabarkan dan memahami visi misi dari Kepala Negara? Survei terbaru Charta Politika Indonesia menyebut 68,1% responden setuju Presiden Joko Widodo melakukan reshuffle kabinet

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan survei digelar pada 29 November-6 Desember 2021 dengan total responden 1.200 orang. 

Survei dilakukan kepada laki-laki dan perempuan usia 17 tahun ke atas dengan metode wawancara tatap muka dan margin of error sekitar +-2,83% pada tingkat kepercayaan 95%.

Menjadi hal biasa dalam dinamika sebuah pemerintahan. Ada banyak spekulasi yang beredar terkait penyebab reshuffle, semuanya mempunyai argumentasi berbeda-beda. Namun apapun argumentasi itu, tujuan reshuffle bermuara pada upaya peningkatan kinerja pemerintahan.  

Ada tiga evaluasi yang dilakukan presiden dalam reshuffle kabinet yaitu evaluasi teknokratik, politik, dan publik. 

“Hasil survei ini temuannya mayoritas hampir 60 persen yaitu persisnya 59,3 persen setuju dan sangat setuju agar Presiden Jokowi melakukan perombakan kabinet, mengganti beberapa menteri tentu dengan beberapa catatan yang menjadi penilaian publik atas kinerja pemerintah di berbagai bidang tadi,” kata Direktur Eksekutif Poltracking Institute Hanta Yudha dalam Youtube Poltracking, Selasa (26/10/2021).


Menurut amatan saya, besar kemungkinan pengangkatan wakil menteri dan isu reshuffle dilakukan untuk akselarasi program pemerintahan Jokowi yang belum terlaksanakan sesuai visi dan misi Jokowi sebagai Kepala Negara.  

Tentunya, reshuffle kabinet juga harus didefiniskan sebagai 'buying time' kesabaran publik yang ingin melihat performa pemerintah menjadi lebih baik. Reshuffle seyogyanya diberlakukan kepada mereka yang tidak perform dan bukan karena tekanan.

Sangat mudah untuk menjadi tidak sabar dengan Indonesia. Ketidaksabaran terhadap Indonesia sebagian merupakan konsekuensi dari potensinya yang luar biasa. 

Sumber dayanya yang melimpah, mulai dari mineral, pertanian hingga minyak, dapat menjadikan Indonesia sebagai pemasok premium bagi ekonomi Asia yang berkembang pesat, memegang janji besar sebagai pasar domestik yang dinamis. Namun, untuk mewujudkan potensi ini, diperlukan reformasi yang berani, dan para pembaharu harus menavigasi jalannya politik maupun sosial. 

Di samping ideologi dan ekonomi, struktur pemerintahan Indonesia yang sekarang telah terdevolusi, dengan kekuasaan yang tersebar di banyak yurisdiksi, dengan sendirinya menghambat kepemimpinan dari atas ke bawah. 

Jokowi, dalam karir politiknya yang singkat sebagai walikota daerah dan kemudian gubernur Jakarta, telah menjadi penerima manfaat dari devolusi ini. Saat ini, ia harus memanfaatkannya dengan cara yang berbeda.  

Jika Jokowi berhasil mendorong reformasi ekonomi yang mendalam di masa jabatan keduanya seperti yang dijanjikan, maka cara dia membentuk kabinetnya suatu hari nanti akan terlihat menginspirasi dan berani. Namun, jika dia gagal memenuhi janji reformasinya, penunjukan kabinet yang sama ini akan dinilai sebagai upaya sia-sia untuk menenangkan oposisi.

Jokowi telah mengambil beberapa risiko dalam membentuk kabinetnya. Jadi apa hambatan utama yang menghambat Indonesia? Tersangka yang biasa dikenal. Infrastruktur, regulasi, dan birokrasi semuanya menghalangi lingkungan bisnis. 

Subsidi mendistorsi sinyal harga dan perlu dikurangi, jika tidak dihilangkan. Investasi asing perlu lebih disambut. 

Pekerjaan tidak tetap di sektor informal harus diatur untuk menciptakan lebih banyak pekerjaan di sektor formal, dan itu membutuhkan pendidikan berkualitas lebih tinggi dan lulusan yang lebih terampil. 

Peraturan pasar tenaga kerja, dengan biaya pemecatan yang tinggi, merupakan penghalang bagi penciptaan lapangan kerja dan perlu diubah. 

Kepastian kebijakan yang lebih besar pada gilirannya akan mendorong investasi sektor swasta di bidang infrastruktur, terutama dalam kemitraan dengan pemerintah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun