Untukmu yang masih bertanya-tanya siapa aku. Kemarilah. Datang dan duduklah di sebelahku. Ya, duduklah di situ. Sekarang, apa yang bisa kubantu?
"Bolehkah aku mengenalmu?"
Bukankah dari dulu aku selalu bersamamu? Dan aku tidak pernah pergi jauh darimu? Ada apa denganmu? Kenapa saat ini aku terlihat begitu asing di matamu? Bukankah dahulu engkau begitu dekat denganku? Dahulu, kapanpun engkau mau, engkau bisa memanggilku. Dahulu, setiap saat engkau memanggilku dengan hatimu.
"Bayak orang yang telah menjadi gila karena melewati jalan itu." Katamu sambil menunjuk ke arah jalanan panjang di depanmu. "Jika menurutmu, jalan itu adalah jalan yang harus aku lalui agar aku bisa terus bersamamu. Maka aku memutuskan untuk tidak akan mengikuti langkahmu, sebab aku takut menjadi gila. Seperti mereka-mereka yang saat ini telah menjadi gila karena pernah melewati jalanan itu."
Jalan yang terlihat begitu menakutkan itu. Sebenarnya adalah jalan yang engkau cari-cari selama ini.
"Aku tidak akan mengikuti langkahmu melewati jalan itu."Â
Baiklah! Aku adalah aku, jalanku bukan jalanmu, dan jalanmu bukan jalanku. Kataku waktu itu sambil terus melihat kepergianmu. Waktu itu. Dalam keadaan bimbang, engkau pergi meninggalkanku. Tahukah engkau? Bahwa sedetikpun aku tidak pernah pergi meninggalkanmu? Dari kegelapan aku selalu melihatmu. Dari kesunyian kucoba berbisik di telingamu. Di saat engkau tengah sendirian, aku selalu berada di dekatmu. Walaupun aku tahu, engkau tidak pernah hirau dengan kehadiranku di dekatmu.
Pun bersama Sang Dewi Malam aku terus memperhatikanmu. Membiarkanmu terus berjalan memasuki ruang demi ruang mimpi milik Sang Dewi Malam. Membiarkanmu bercengkrama dengan mereka-mereka yang tidak pernah bisa hadir di dalam kehidupan nyatamu.
Membiarkanmu terus bercengkrama dengan orang yang di dalam kehidupan nyatamu, yang bahkan bahunya itupun tidak pernah bisa kau jadikan sandaran kepalamu.
Dan seperti yang engkau lihat. Aku masih tetap berada di sini. Di tempat dahulu biasa engkau temui di kala engkau sedang bersusah hati dengan semua beban yang terasa menghimpit rongga dadamu.
"Siapa engkau?"
Di matamu aku hanyalah Binatang Jalang. Binatang jalang yang pernah mendatangimu di saat hujan turun di malam hari. Binatang jalang yang selalu mendatangimu di kala engkau tengah di landa sepi. Binatang jalang yang selalu hadir di kala engkau tengah merasa sendirian. Binatang Jalang yang selalu hadir setiap kali engkau merasa terabaikan.Â
Birahimu, ya birahimu itu selalu mampu memanggilku. Tapi kenapa sampai sekarang engkau tidak pernah mampu mengenali keberadaanku?
"Aku ingin melihatmu."
Hemm, bisakah engkau melihat udara yang saat ini ada di sekelilingmu?
Bisa kupahami kebimbanganmu. Dapat kurasakan 'rasa' was-was yang begitu besar di dalam hatimu. Bisa kulihat 'rasa' was-was yang saat itu tengah membolak-balikan isi hatimu. Bisa kupahami kemarahanmu melihat keakuanku yang saat itu terlihat begitu sombong di matamu. Yah, inilah aku. Suka tidak suka beginilah keadaanku.
Minumlah kopi yang baru saja kuseduhkan kusus buatmu itu. Apakah engkau  juga menginginkan rasa kopi yang ada di dalam cangkirku?
"Aku ingin menyatukan rasaku dengan rasamu. Hemm, bukankah engkau penyuka kopi? Kenapa engkau campurkan sedikit susu ke dalam cangkir kopimu?"
Aku memang menyukai kopi murni. Jujur saja aku menikmatinya. Hanya saja saat ini aku ingin lebih merasakan rasa yang hanya sekedar rasa kopi.Â
"Kenapa? Dan kenapa engkau hanya beri aku secangkir kopi murni yang jelas-jelas terasa begitu pahit di lidahku ini?"Â
Karena aku ingin engkau belajar, seperti ketika aku dulu baru pertama kali belajar menikmati rasa kopi.Â
Nikmatilah, rasakan kenikmatan kopi pahit di depanmu itu agar engkau paham arti memilih. Suatu saat engkau akan sadar, bahwa dengan menerima, ternyata rasa pahit itu dapat engkau  nikmati.
"Kenapa engkau tambahkan sedikit susu ke dalam cangkir kopimu? Bukankah susu itu malah akan merusak rasa khas kopimu?"
Jika takarannya pas. Maka yang akan engkau rasakan adalah kesimbangan. Begitupun aku di dalam merasakan hidup, dan kehidupan ini. Dari secangkir kopi susu yang biasa kunikmati. Aku sadar. Ternyata untuk mendapatkan ketenangan. Yang aku butuhkan hanyalah keseimbangan.
"Kopi berwarna hitam, sedangkan susu berwarna putih, jika engkau campur keduanya, bukankah itu hanya akan menghasilkan warna baru yang terlihat lebih buram dari warna sebelumnya?"Â
Begitupun aku melihat hidup dan kehidupan ini. Semuanya masih telihat begitu buram di mataku. Tidak ada yang pasti di sini. Tidak ada yang tahu pasti berapa lama kita akan berada di tempat ini. Dan menurutku, yang pasti adalah ketidak pastian itu sendiri.Â
Walau kata orang, hidup adalah pilihan. Dan kata orang, di dalam hidup ini kita harus memilih satu di antara dua pilihan. Tapi dari secangkir kopi susu ini aku belajar, ternyata untuk mencapai keseimbangan kita tidak membutuhkan pilihan.
Apa yang engkau lihat? Tuhan ciptakan semua yang ada di dunia ini secara berpasang-pasangan. Ada siang ada malam, ada baik ada buruk. Ada rasa pahit tentu juga ada rasa manis. Seandainya engkau hanya akan memilih satu di antara keduanya, maka itu sama saja dengan rasa kopi yang ada di depanmu itu.Â
Tiba waktunya bagimu untuk memilih, meminum air kopi tanpa gula, atau meminum air gula tanpa ada kopi di dalamnya. Pilihan ada di tanganmu.Â
Lihat itu! Indah bukan? Itu adalah hasil perpanduan antara dua kejadian. Kenapa tak selalu ada pelangi di setiap hujan? Karena alam tahu, banyak yang mengharapkannya. Maka kedatangannya harus pas dan mempesona. Karena alam paham jika pelangi harus selalu nampak, maka tak ada lagi yang luar biasa darinya. Begitupun dengan doa mu, yang tidak selalu terkabul saat engkau meminta. Karena Tuhan tahu, kapan saat yang tepat untuk mengabulkan doa-doamu.
Duduklah di situ. Lupakan sejenak masalah cebong dan kampret dengan segala hiruk pikuknya itu. Kenapa engkau berbalik menemuiku? Apakah Cebong dan Kampret yang setiap hari selalu menyuguhimu dengan makanan dan minuman yang tidak baik buat kesehatanmu itu sudah mulai tidak menarik lagi buatmu?
Kenapa engkau berbalik arah menemuiku? Apakah Cebong dan Kampret yang dulu sudah membuatmu pergi meninggalkanku itu kini telah mengecewakanmu? Lihatlah dirimu di depan cermin itu! Apa yang engkau lihat di dalam cermin itu?
Engkau yang hanya mengenali jalangku. hapus air matamu! Jika saja engkau mau lebih sabar dalam mengenaliku, niscaya engkau akan paham. Bahwa ada rasa yang lebih nikmat dari rasa nikmat yang pernah engkau rasakan dulu. Ada rasa yang jauh lebih nikmat dari rasa yang pernah engkau rasakan dulu, di saat engkau melenguh panjang ketika aku menghujamkan kenikmatanku pas di tengah-tengah titik terlemah birahimu.
Mari. Mendekatlah ke arahku. Mari kita nikmati secangkir kopi yang tadi kuseduhkan kusus buatmu. Hapus air matamu.Â
Lihat itu! Lihatlah apa yang selama ini begitu menakutkanmu itu dengan mata hatimu. Sekarang engkau paham maksudku? Rasa sedih yang selama ini begitu engkau benci itu hanyalah seonggok pakaian lusuh di sudut kamar tidurku. Lihatlah apa yang ada di sebelahnya. Engkau heran menemukan Rasa gembira itu berada di dekatnya? Mereka adalah sepasang ciptaan Tuhan.
Engkau lupa? Sesungguhnya, sesudah kesulitan ada kemudahan. Lihat pakaian-pakaian itu! Bagiku, mereka hanyalah seonggok pakaian, yang  kapanpun aku mau, bisa kulepas dan kukenakan kembali sesuka hatiku.
Lihat itu? Ya, itu adalah Rasa benci dan Rasa sayang, yang sudah lama kubiarkan teronggok di sudut kamar itu. Kau ingin memintanya? Kenapa? Kenapa engkau begitu  ingin memiliki salah satu di antaranya? Katamu tadi engkau ingin belajar mengenalku, dan ingin selalu berada di dekatku. Tapi kenapa engkau masih hirau pada pakaian-pakaian itu? Engkau merasa hambar dengan ketelanjangku? Ya memang begitulah aku. Karena aku jarang sekali mau menggunakan pakaian-pakaian itu.
Duduklah di dekatku. Nikmati rasa kopi di cangkir itu. Apa yang engkau rasakan ketika sedang duduk di dekatku? Begitulah aku. Secangkir kopi susu itu telah lama menghambarkan semua rasaku. Bukan hanya terhadapmu, tapi juga terhadap semua yang berada di sekelilingku. Apakah engkau tahu? Saat ini aku bahkan sudah tidak lagi mampu membedakan antara rasa kopi dengan rasa susu.
Lihat itu! Apa yang engkau ketahui tentang benar dan salah yang saat ini tengah berada di depanmu? Apa yang engkau lihat? Ya, aku berdiri di antara keduanya.
Mendekatlah kepadaku. Sebentar lagi akan kuceritakan padamu. Cerita yang akan membuatmu sejenak melupakan semua keinginanmu, dan ketakutanmu dalam menyusuri jalan kehidupan ini. Dengarkan baik-baik semua ceritaku. Cerita yang akan membuatmu tidak lagi menginginkan Surga dan semua janji-janji kenikmatan di dalamnya. Dan juga cerita yang akan membuatmu tidak lagi pernah merasa takut  dengan Neraka dan semua ancaman yang pernah di janjikannya.
Sekarang, teguk dan rasakan secara perlahan-lahan,  rasakan apa yang ada di dalam cangkir kopi itu. Ya begitu, rasakan kenikmatannya, sambil perlahan-lahan engkau tutup kedua matamu. Sekarang, dengarkanlah suaraku dengan telinga batinmu; Rasaku adalah rasamu, dan rasamu adalah rasaku.Â
Dan sekarang. Bukalah kedua matamu. Lihat dan tataplah wajahku.Â
Menurutmu, Siapa Aku?
-Selesai-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H