Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku dan Sang Waktu

4 Januari 2019   00:21 Diperbarui: 16 Januari 2019   21:36 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pada Agustus 1883 yang lalu, lebih dari 36.000 orang meninggal, dan yang sebagian besar meninggal itu adalah akibat terkena abu panas atau tersapu tsunami yang diikuti dengan runtuhnya gunung berapi ke dalam kaldera di bawah permukaan laut.

Letusan besar waktu itu juga sempat mempengaruhi iklim dan menyebabkan suhu turun di seluruh dunia," kata wanita berjilbab hitam ini sambil memperbaiki cadar yang menutupi sebagian wajahnya.

"Waktu itu, ledakan besar menyemburkan sekitar 11 mil kubik (45 km kubik) material vulkanik ke atmosfer. Kala itu langit terlihat suram hingga sejauh 275 mil (442 km) dari gunung berapi. Sinar matahari tak pernah menampakkan wujudnya selama tiga hari. Abu bahkan berterbangan sejauh 3.775 mil (6.076 km).

Dalam 13 hari, lapisan sulfur dioksida dan gas-gas lain mulai menyaring jumlah cahaya mentari yang dapat mencapai Bumi. Suhu global rata-rata turun 1,2 derajat lebih dingin selama lima tahun ke depannya.

Seusai letusan kataklismik Gunung Krakatau pada tahun 1883, Pulau Rakata kehilangan kira-kira 2/3 tubuhnya di sisi barat laut, melenyapkan puncak Gunung Perbuwatan dan Gunung Danan, serta menyisakan paruh selatan Gunung Krakatau (yang sekarang tetap disebut Pulau Rakata).

Dan pada tahun 1927 tampak aktivitas vulkanik di titik di antara bekas puncak Gunung Perbuwatan dan Gunung Danan, di tandai dengan munculnya kepulan asap disertai letusan-letusan kecil. Tapi pada tahun 1929, pulau kecil ini kembali menghilang. Dan bersamaan dengan letusan yang terjadi pada tahun 1930, pada Februari 1933 pulau itu muncul kembali dengan ukuran yang lebih besar.

Pada tahun 1935, pulau ini bentuknya hampir bundar, dengan diameter sekitar 1200 m, ketinggian 63 m dan pada tahun 1940 tingginya sudah mencapai 125 m. Dan pada tahun 1955 pulau ini bertambah ketinggiannya menjadi 155 m dari permukaan laut, hingga pada tahun 1959 pulau ini kembali meledak dengan mengeluarkan asap hitam tebal hingga setinggi 600 m.

Bersamaan dengan aktivitas vulkanik gunung api yang ada di pulau ini, titik tertinggi pulau ini terus meningkat dengan laju 7-9 meter per tahun. Dan pada September 2018 ketinggiannya telah mencapai 338 meter dari permuka laut.

Sabtu, 22 Desember 2018 yang lalu, sekitar pukul 21.00 WIB, telah terjadi Tsunami di Banten. Ketika itu, air laut yang sedang pasang tiba-tiba saja menerjang pinggiran pantai Anyer, Carita, hingga ke Tanjung Lesung.

Gelombang tinggi tersebut di duga berasal dari aktivitas intensif Anak Krakatau. Gunung berapi yang muncul pada 1927 pascaletusan Gunung Krakatau yang amat dahsyat pada Agustus 1883 yang lalu," katanya lagi sambil menatap lurus ke dimana dulunya Anak Gunung Krakatau itu berada.

"Apakah waktu itu kota Jakarta tenggelam akibat letusan Anak Krakatau ini?" tanyaku sambil melihat ke arah bekas monumen yang tadi kulihat hanya tinggal puncaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun