Padahal aku sangat yakin, bukan itu nama yang pernah di berikan oleh kedua orang tua ku dulu, tapi ya sudahlah, apalah arti sebuah nama.
"Dua puluh satu, dua puluh dua, dua puluh lima, dua puluh tiga,"
Aku masih terus menghitung mobil yang melintas di depanku, sambil memegangi pancing kesayanganku.
Aku lupa entah sejak kapan jembatan ini menjadi tempat favoritku. Setelah seharian berjalan kesana kemari tanpa tujuan. kalo sudah sore begini aku paling senang duduk di pinggir jembatan, memegang tangkai pancing menghadap ke arah jalan. Beberapa pengguna jalan terkadang kulihat tersenyum ramah kearahku.
Aku tak akan bersembunyi lagi. Dan rasanya tidak ada lagi yang perlu kututupi dari diriku. Sehingga orang-orang yang masih saja mencari-cari istriku pun tidak lagi menuduhku dengan tuduhan yang macam-macam.
Saat ini aku sudah tidak memilik apa-apa lagi. Mungkin hanya Tuhan saja yang masih kumiliki saat ini, bahkan baju yang terakhir kupakai pun sudah kubuang, karena mereka mengatakan baju itu kubeli dari hasil melarikan uang mereka.
Sudah beberapa kali kukatakan pada mereka, kalo aku tidak mengetahui bisnis dan kegiatan istriku kala itu, tapi semua jawabanku itu hanya membuatku semakin terlihat bodoh di mata mereka.
Tidak bosan-bosan nya mereka datang kerumah, mencari istriku dan tentunya sambil menuduh dan menyayangkan sikapku, yang mereka anggap telah dengan sengaja memanfaatkan kecantikan istriku.
Padahal demi Tuhan, aku tidak pernah punya pikiran kotor apalagi serendah itu hingga harus menggadaikan istriku sendiri, demi untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga kami.
Harga diriku sebagai kepala rumah tangga di rumah ini sepertinya sudah tidak ada lagi, mereka yang mencari-cari istriku se-enaknya keluar masuk kedalam rumahku. dan biasanya setelah puas menggeledah dan mengacak-acak isi rumahku, mereka pergi begitu saja.
Entah mereka anggap apa aku disini, aku bukan patung. Aku diam dan masih terus berpikir, apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam rumah tanggaku saat ini?