***
Aku adalah seorang pria yang telah di karuniai dua orang anak, hasil dari pernikahanku dengan seorang gadis Desa. Aku cukup bahagia dan ber-syukur atas rezeki yang telah Tuhan berikan padaku saat ini. Bekerja di salah satu kantor milik pemerintah Daerah, di tambah dengan warisan dari mertua dan kedua orang tuaku, rasanya cukup membuatku percaya diri untuk mengatakan pada semua orang bahwa keluargaku sangat bahagia saat ini, semua kebutuhan materi tercukupi.
Namun seiring waktu yang berjalan. Kesibukanku bekerja di luar kota, ternyata lambat laun membuatku semakin jauh dengan kedua anak dan istriku, hingga tanpa kusadari aku sering melewatkan beberapa hal penting.
Anak dan istriku sering luput dari perhatianku, dan untuk membunuh rasa sepinya itu, ia mulai mencari kesibukan nya sendiri, yang kutahu saat itu dia mulai belajar bisnis bersama teman-temannya. Pernah kutanya kala itu;
"Apa uang yang papa berikan masih belum cukup?"
Dia Cuma menjawab,"Cukup kok pa, mama hanya cari kesibukan aja, biar gak suntuk di rumah, toh anak-anak sudah besar semua.."
Kala itu aku hanya mengganggukan kepala tanda setuju.
"Oh ya, mana si abang? kok dah beberapa hari papa nggak ada melihat dia..?" tanyaku. Karena sudah beberapa hari aku di rumah, tapi aku tidak ada melihat anakku yang paling besar berada di rumah.
Sambil membuatkan secangkir kopi kesukaan ku, istriku menjawab;
"Biasalah pa, namanya juga anak laki-laki, kadang-kadang kalo sudah ngumpul sama teman-teman nya suka lupa pulang, nanti juga, kalo uang jajan nya sudah habis dia pasti pulang.."
***
Beberapa rekan kerjaku menanyakan perkembangan bisnis istriku. Menurut pengakuan mereka ternyata beberapa waktu yang lalu, istriku pernah meminjam modal dalam bentuk uang yang lumayan banyak pada mereka, walau sedikit kaget kala itu, karena istriku selama ini tidak pernah bercerita, kalo dia sudah mengajak dan meminjam modal kepada beberapa teman-ku, tapi ketika itu sambil tersenyum aku cuma bilang.
"Baik.."
Dan belakangan ku ketahui, istriku ternyata sudah mulai jarang pulang ke rumah, mungkin di karenakan kesibukan-nya berbisnis di luar kota. hingga setiap kali aku pulang kerumah, terkadang aku hanya menjumpai Bi Inah, orang tua yang sudah lama bekerja untuk membantu kami di keluarga ini, dan bi inah ini sudah ku anggap seperti keluarga sendiri, terakhir ku tanya bi inah cuma bilang;
"Ibu sudah beberapa hari ini tidak pulang ke rumah pak , pergi sama teman bisnisnya yang biasa itu.."
Sambil melepaskan penat di Sofa, kucoba hubungi nomor ponselnya, tapi kedua nomornya tidak ada yang aktif, begitupun dengan ponsel anak ku yang paling kecil, kucoba hubungi saudara-saudara ipar dan mertua ku di kampung sana, mana tau dia pulang kampung. Ternyata mereka pun tidak tahu dimana anak dan istriku berada saat ini.
"Ehm,,sudah sedemikian sibuk-nyakah? hingga pergi menginap di luar kota beberapa hari lamanya pun, tidak sempat memberi kabar padaku?"
***
Entah sudah berapa lama aku duduk disamping pusara anakku, diam seribu bahasa tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun, tiada air mata, tiada ratapan seperti beberapa hari yang lalu. Karena menurutku itu semua percuma, dan takkan mungkin bisa mengembalikan putraku lagi.
"Ehmm,., Saat ini aku merasa tenang sekali, beban berat yang selama ini selalu menggelayut di kedua pundakku, telah ku hempaskan dan ku buang jauh-jauh semuanya. hemmmm.....kini aku tidak lagi memperdulikan apapun pendapat orang lain tentangku, aku adalah aku, jalan ku bukan jalanmu, begitupun jalanmu bukan jalanku."
Sore itu ketika sedang berjalan seorang diri, beberapa anak kecil mengikuti-ku dari belakang, sambil terus mengikuti dan terus memanggilku.
" Orang gila....orang gila,"
Padahal aku sangat yakin, bukan itu nama yang pernah di berikan oleh kedua orang tua ku dulu, tapi ya sudahlah, apalah arti sebuah nama.
"Dua puluh satu, dua puluh dua, dua puluh lima, dua puluh tiga,"
Aku masih terus menghitung mobil yang melintas di depanku, sambil memegangi pancing kesayanganku.
Aku lupa entah sejak kapan jembatan ini menjadi tempat favoritku. Setelah seharian berjalan kesana kemari tanpa tujuan. kalo sudah sore begini aku paling senang duduk di pinggir jembatan, memegang tangkai pancing menghadap ke arah jalan. Beberapa pengguna jalan terkadang kulihat tersenyum ramah kearahku.
Aku tak akan bersembunyi lagi. Dan rasanya tidak ada lagi yang perlu kututupi dari diriku. Sehingga orang-orang yang masih saja mencari-cari istriku pun tidak lagi menuduhku dengan tuduhan yang macam-macam.
Saat ini aku sudah tidak memilik apa-apa lagi. Mungkin hanya Tuhan saja yang masih kumiliki saat ini, bahkan baju yang terakhir kupakai pun sudah kubuang, karena mereka mengatakan baju itu kubeli dari hasil melarikan uang mereka.
Sudah beberapa kali kukatakan pada mereka, kalo aku tidak mengetahui bisnis dan kegiatan istriku kala itu, tapi semua jawabanku itu hanya membuatku semakin terlihat bodoh di mata mereka.
Tidak bosan-bosan nya mereka datang kerumah, mencari istriku dan tentunya sambil menuduh dan menyayangkan sikapku, yang mereka anggap telah dengan sengaja memanfaatkan kecantikan istriku.
Padahal demi Tuhan, aku tidak pernah punya pikiran kotor apalagi serendah itu hingga harus menggadaikan istriku sendiri, demi untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga kami.
Harga diriku sebagai kepala rumah tangga di rumah ini sepertinya sudah tidak ada lagi, mereka yang mencari-cari istriku se-enaknya keluar masuk kedalam rumahku. dan biasanya setelah puas menggeledah dan mengacak-acak isi rumahku, mereka pergi begitu saja.
Entah mereka anggap apa aku disini, aku bukan patung. Aku diam dan masih terus berpikir, apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam rumah tanggaku saat ini?
Hingga yang terakhir, beberapa orang menyeretku keluar dari istanaku, mengusirku begitu saja. Dan kali ini aku tidak bisa tinggal diam lagi, aku marah, dan sangat marah ketika mereka bilang istriku telah pergi dengan pria idamanya, setelah menjual rumah beserta semua aset berharga yang kami miliki.
Setengah tidak percaya, kuambil surat bukti yang mereka sodorkan padaku, ternyata memang benar rumah beserta isinya sudah bukan milikku lagi, ternyata wanita yang kucintai selama ini telah menjual seluruh harta benda yang kami miliki tanpa sepengetahuanku.
Dan semua uang hasil penjualan dan semua modal bisnis yang ia pinjam dari beberapa rekan kerjaku telah dia bawa pergi bersama pria idamannya itu.
Menurut tetanggaku. Sebelum badai ini menenggelamkan bahtera rumah tanggaku, dulu dia berkenalan dengan seorang pria melalui situs pertemanan, di lanjutkan dengan melakukan beberapa kali pertemuan.
Entah apa yang ada di dalam pikiran nya kala itu, hingga akhirnya dia memutuskan untuk pergi meninggalkan ku begitu saja.
***
Kenapa begitu ramai di makam itu? dan beberapa orang yang dulu sering memaki dan menghinaku semuanya berada disini, ada apa gerangan? kenapa mereka terlihat begitu sedih? Satu persatu mereka semua pergi meninggalkan makam, salah seorang diantara mereka ku dengar berkata kepada teman-nya;
"Semoga dia mau memaafkan kita, sayang dia keburu pulang sebelum kita sempat meminta maaf padanya, semoga dia diterima disisinya,,"
Lalu di jawab beberapa temannya; "Amien,,,"
Setelah mereka semua pergi, kudatangi pemakaman itu, ternyata ada makam baru di sebelah makam anakku. Di batu nisan itu tertulis namaku.
Kuhampiri, lalu kubersihkan tanah yang menutupi tulisan di batu nisan itu, memaang benar. Itu adalah namaku, nama yang pernah diberikan oleh kedua orang tuaku dulu.
Puas memandangi makam itu, dan juga makam anak sulungku, perlahan kulangkahkan kaki, meninggalkan areal pemakaman, dan entah kenapa tiba-tiba, aku teringat pada mantan istri dan anak bungsuku yang saat ini entah berada dimana.
Suasana saat ini begitu hening, angin bertiup, mendung datang, daun-daun mulai berguguran.
Saat ini yang kurasakan hanyalah kepasrahan..
Demikian tenang, tanpa dendam. Dan saat ini,aku merasakan tubuhku begitu ringan, seakan menyatu dengan alam. Suara angin bagaikan nyayian, begitu sendu.
Semakin lama semakin terasa menusuk kalbu, aku menatap sayu ke arah makam, untuk yang terakhir kalinya, kulihat sesosok tubuh yang terbujur kaku. Tersenyum pasrah tanpa beban.
Entah kenapa saat ini aku melihat Dunia ini dari sudut pandang yang berbeda.
Aku terus berjalan, meninggalkan areal pemakaman. Meninggalkan masa lalu tanpa dendam, meneruskan langkah, dan entah kenapa aku berpikir bahwa perjalanan hidup ku di Dunia ini tak ubahnya seperti cerita sinetron yang sering kulihat di Televisi.
Peranku untuk menjaga mereka di dunia ini telah selesai. Dan peran itu kini telah di gantikan oleh seorang pria yang di dalam naskah cerita hidupku berhasil merebut bidadari kecilku dalam satu episode yang banyak menguras emosi dan air mata ku kala itu.
Begitu sempurnanya naskah cerita milik Tuhan. Hingga terkadang para pemain di dalamnya sampai lupa kalo sedang bermain dalam suatu cerita.
Alkisah cerita di buka dengan turun-nya sang iblis dari Surga. Iblis yang tercipta dari api merasa lebih mulia dari Adam yang tercipta dari lumpur yang hina. Tuhan begitu murka karena sang Iblis begitu angkuh di hadapannya. Iblis yang tidak terima, di hadapan Tuhan, bersumpah akan menyesatkan anak cucu Adam sebanyak-banyaknya.
Dulu aku begitu marah dan sangat membenci beberapa orang yang suka mengerjakan amalan iblis beserta anak dan cucunya di Dunia ini.
Tapi kini aku sadar, aku memang aku tidak mengerjakan apa yang mereka kerjakan, tapi aku malah memiliki sifat dari anak iblis beserta anak dan cucunya.
Rasa amarah dan kebencian membuatku lupa, padahal dari semua kitab terdahulu yang pernah ku baca, semuanya menyatakan kalau Iblis tercipta dari api, penuh amarah dan kebencian.
Selama ini aku merasa lebih baik, dari mereka-mereka yang ku anggap selalu mengikuti amalan Iblis beserta anak cucunya, tanpa ku sadari, aku sering merasa lebih baik dari mereka semua. Sehingga cenderung menganggap aku lah yang paling mulia di hadapannya, tapi setelah kupikir-pikir, apa bedanya aku dengan Iblis, yang kala itu merasa lebih baik dari Adam?
Selama ini, aku berjalan di atas muka bumi ini lebih banyak mengikuti hawa nafsuku saja, hawa nafsu yang tanpa kusadari semakin lama semakin mengotori hati, karna hati itu ibarat cermin.
Dan hanya hati yang mampu menangkap dan menerima pesan dari Sang Pencipta, seandainya cermin itu kotor dan berdebu mustahil mampu menangkap bayangan-nya dengan sempurna.
Dan entah kenapa saat ini aku sepakat pada ucapan beberapa orang yang mengatakan, bahwa pertempuran yang paling berat itu adalah perang melawan hawa nafsu yang ada di dalam diri sendiri.
Dan selaku manusia terkadang aku suka berlaku tidak adil terhadap ciptaanya, sehingga sebagai manusia aku lebih sering memihak dan terkadang berat sebelah dalam menilai ciptaann-NYA.
Aku lupa kalau lagi bermain sandiwara. Tak jarang,aku berkeluh kesah pada sang Pencipta. Lupa kalau permainan ini hanya sementara, hingga sering menuntut alur cerita untukku di ubah, karena aku merasa sering berada di pihak yang teraniaya, hingga sering merasa Sang Pencipta berlaku tidak adil padaku.
Masing--masing mendapatkan peran utama dalam hidupnya, ada yang mendapatkan peran sebagai Pejabat sekaligus Penjahat, ada yang menjadi orang baik, dan ada pula yang menjadi orang jahat, dimana di dalam alur cerita yang ada di Dunia ini, kejahatan pada akhirnya harus mengalah pada kebaikan. Aku sering lupa, bahwa baik dan jahat itu semuanya milik Tuhan, dan sudah tentu kesemuanya itu sudah berjalan atas izin dan kehendak-NYA.
Entah sudah berapa lama aku berjalan. Dan entah dimana aku berada saat ini, tapi yang pasti saat ini aku sedang berdiri diluar panggung Sandiwara. Ada pemainan dan tentunya ada penonton dan juga Sutradara. Ku ambil tempat duduk di salah satu kursi penonton yang masih kosong, melihat pergelaran cerita anak manusia.
Begitu indah dan memukau permainan mereka, para pemain begitu menghayati peran-nya, hingga terkadang mereka lupa, kalo saat ini sedang bermain dalam cerita.
Ada yang sedang meratapi kisah hidupnya, hingga beberapa penonton pun ikut larut dalam kesedihan, hingga tanpa terasa ikut menitikkan air mata, tapi juga sesekali penonton tersenyum melihat pemeran yang menangis bahagia.
***
Sang Sutradara melambaikan tangan ke arahku, aku beranjak dari tempat duduk, berjalan menjumpai Sang Sutradara.
Menerima naskah cerita kedua.
Aku terus berjalan, melewati beberapa penonton yang masih larut dalam permainan cerita Dunia, perlahan ku turuni setiap jenjang anak tangga, dan mulai meninggalkan para penonton dan juga Sutradara. Perlahan ku dekati panggung Sandiwara.
Aku tersenyum, di hadapanku ada seorang anak manusia yang sedang cemas menunggu kelahiran putra pertamanya.
Sudut mataku membaca tulisan dalam naskah cerita yang baru ku bawa;
"Selamat Datang di Dunia. Yakinlah bahwa hari ini lebih baik dari hari kemarin, begitupun hari esok pasti lebih baik dari hari ini,"
Selesai
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H