Ku coba mencerna  semua kata-kata bapak tua di sampingku ini sambil mengisap sebatang rokok yang baru selesai kubakar, kutarik dalam-dalam lalu kuhembuskan asapnya pelan-pelan.
Di ujung sana. Tepatnya diseberang jalan, kulihat seorang ibu tua sedang berjalan tertatih-tatih sambil membawa cucunya.Â
Sesekali kulihat ia membungkukkan badannya, mengucapkan terima kasih pada beberapa orang yang telah memberikan recehan pada cucunya.
Sambil berjalan  bocah kecil itu tak bosan-bosannya menengadahkan tangan meminta belas kasihan pada setiap orang-orang  yang di jumpainya.
Bapak tua itu kembali bercerita.Â
Untuk sekedar menyambung hidupnya, ia memang bekerja mengumpulkan botol-botol plastik  bekas. Biasanya  setelah dipilah-pilah  dia akan menjualnya kepada penadah barang rongsokan  yang tinggal tidak jauh dari kediamannya.Â
Menurutnya, walau dalam menjalani pekerjaan nya  itu terkadang  ia harus merasakan sehari makan dan sehari puasa. Namun ia sangat  bersyukur pada Tuhan, yang hingga hari ini masih memberinya umur, kesehatan dan kekuatan  untuk menjalani hari-harinya.
Menurutnya, memang tidak mudah untuk tetap menjaga hatinya. Â Agar tidak tergoda untuk mengambil barang milik orang lain yang bukan menjadi haknya.
Jujur aku tidak menyangka, masih ada orang yang mempunyai prinsip hidup seperti bapak tua ini, di negeri yang kata orang adalah negeri tempat para bedebah berada.
Dimana sebagian  orang sudah tidak lagi mau memperdulikan nasib orang lain, di negeri yang sebagian orang-orangnya mempunyai  prinsip asalkan perutnya kenyang, perduli setan dengan orang lain yang akan mati kelaparan  di depan-nya, ternyata masih ada orang seperti ini kujumpai di pinggir jalan.
Aku seperti baru menemukan sebutir mutiara diantara tumpukan sampah, siapa sangka aku akan  mendengar kata-kata bijak penuh hikmah  dari mulut sahabat tuaku ini yang katanya berprofesi sebagai pemulung.Â