Kamu harus sekolah supaya pintar. Demikian pesan orang tua. Lebih dari menguasai bermacam ilmu dan pengetahuan, belajar memberi peluang anak mengembangkan potensi dirinya. Dan proses belajar itu dimulai dari rumah.
Banyak orang tua berpikir, mendidik adalah tugas guru di sekolah. Sehingga saat pulang, anaknya harus sudah bisa baca ini itu. Apalagi kalau sudah bayar mahal ke sekolah. Hal ini tidak salah, meski tak sepenuhnya benar.
Pertama berinteraksi dengan orang tua
Suami dan istri (ayah dan ibu) mendapat tugas mulia atas kehadiran seorang anak di bumi. Idealnya, melalui mereka anak juga berinteraksi pertama kalinya. Digendong, dipeluk, dimandikan, dan diajak berceloteh.
Aku jadi paham, kenapa orang Jawa zaman dulu suka mengudang (mengajak interaksi dengan membuat ekspresi muka yang lucu untuk membuat tertawa) anak bayi. Itu adalah salah satu bentuk stimulus yang baik.
Anak bayi kok diajak bicara
Interaksi serupa pun kami lakukan pada anak kami. Bahkan kami mengajaknya bicara dan membacakan cerita saat dia masih dalam kandungan istriku. "Anak bayi kok diajak bicara," demikian kritik seseorang.
Apa yang salah? Anak bayi kan juga manusia. Tuhan berikan dia telinga untuk mendengar suara kita, meski belum sepenuhnya mengerti. Hasilnya, terkini anak kami sangat cerewet. Dia suka bernyanyi-nyanyi sendiri, presentasi apa yang dia lihat, bahkan ingin "memegang mic" saat orang lain sedang bicara.
Membacakan dongeng sejak dalam kandungan
Mengutip alodokter.com, Janin dalam kandungan mulai bisa mendengar suara ibu dan ayahnya setelah berusia 18 minggu. Memasuki usia 24 minggu, janin sudah bisa menanggapi setiap suara yang didengarnya dengan bergerak lebih aktif di dalam rahim, seperti menendang dan membuka mulutnya.
Aku dan istri juga sepakat untuk membacakan cerita sejak anak di dalam kandungan. Istriku mendengar, dan turut melihat gambar dalam buku. Mulanya istriku sendiri merasa aneh, aku seperti bicara pada perutnya. Namun, suatu hari ada kejadian ajaib. Saat aku sedang membacakan cerita, kaki bayi menendang perut istriku. Wow! Itu salah satu bukti bahwa janin dalam perut bisa merespons suara.
Memasuki usia setahun, kami mulai mengenalkan anak pada gambar-gambar. Kami diberi flash card oleh seorang kakak rohani. Gambar ini berisi nama-nama hewan, sayuran, kendaraan dan bermacam barang.
Setelah beberapa saat, anak kami sudah hafal isinya. Tantangan: aku tutup sebagian gambar, dan memintanya menebak. Hasil: dia tahun hampir semua nama pada gambar itu. Keren sih!
Adik ipar kami memberi hadiah berupa buku cerita Alkitab. (Harganya lumayan) Mulanya kami bacakan per judul, lalu dilanjutkan ke bab-bab berikutnya. Tak lama, anak sudah hafal dan meminta dibacakan judul favoritnya. "Ini kuda, ini prajurit, ini Tuhan Yesus disalib" ujar anak menirukan aku dan istri.
Semenjak saat itu, kami berkomitmen membelikan anak buku bacaan sebagai investasi. Istri diajak bergabung dalam grup WA buku murah anak. Ia pun jadi rajin belanja buku buat anak.
Tak cukup membelikan, harus ditemani dan dibacakan
Di sinilah satu tugas lain yang berat dan mulia orang tua. Tak cukup membelikan lalu selesai. Tapi anak harus ditemani dan dibacakan. Kalau anak-anak sudah tenggelam dalam cerita, ia akan minta dibacakan berulang-ulang, tak soal jika ceritanya sama.
Di sini orang tuanya yang diuji. Harus sabar, tahan, dan tabah. Kitab ulangan bahkan menyebut, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. (Ulangan 6:7 (TB))
Mengajarkan berulang-ulang, itu kuncinya. Jadi, buang jauh-jauh rasa bosan itu ya Ayah Bunda! Ketekunanmu akan memberi hasil kok.
Suatu hari, saat istri sedang memasak, anak tetiba nyerocos sendiri melafalkan ulang isi buku yang pernah kami bacakan. Bahkan, saat bermain atau menjelang tidur, ia bisa melakukan monolog isi buku. Keren.
Terompet Bob
Salah satu buku yang dibeli istri adalah cerita tentang Bob, pekerja pipa dan terompetnya. Ceritanya singkat, tapi gambarnya menarik. Hanya dua tiga kali dibacakan, anak sudah hapal. Sebelumnya anak sudah belajar bermacam suara alat musik. "Tet tet teroret!!" tiru anak melafalkan suara terompet.Â
Saat jalan-jalan ke alun-alun, ada anak meniup terompet. Anak kami kepingin. Kami pun membelikan. Biar anak belajar alat musik. Dia belum bisa meniup. Meniup nasi panas saja malah muncrat liurnya. Saat antri di pom bensin, anak tetiba bisa meniup terompet. "Ini terompet Bob!"
Kereta Thomas
Buku lain adalah Thomas & Friends. Thomas si kereta dan teman-temannya harus menyiapkan pesta untuk anak-anak. Mereka harus mengangkut barang-barang keperluan.
Thomas harus mandi dulu supaya bersih dan keren. Thomas digosok dan diberi sabun, sehingga banyak busa di tubuhnya. Aha, Thomas mendapat ide untuk memakai kostum gelembung raksasa. Saat melaju, gelembung di muka Thomas mengenai matanya, jadi perih.
Kemarin aku memandikan anakku. Ia dikeramas, dan aku beri sabun di mukanya. "Papa, seperti Thomas!" Emejing!
Begitulah. Ketekunan membacakan buku oada anak sangat bermanfaat. Anak jadi lebih imajinatif dan ekspresif. Dia mengingat cerita yang kita bacakan. Hal ini tidak didapat jika memberikan anak kepada HP. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H