Ada untungnya aku berwatak ambisius. Berkali-kali ditolak, kaki harus tetap tegak. Dalam tahap berikutnya aku kuliah di kampus swasta di Salatiga, Fakultas Sains dan Matematika, Program Studi Pendidikan Fisika. Wiiiih, jurusan fisika. Kerennn! Aslinya bukan apa-apa. Bisa dibilang, masuk jurusan fisika karena "kecelakaan".
Sebagai mahasiswa, aku merasa telah dewasa, lebih bebas, dan lebih siap berpacaran. Tak dapat teman sebaya, adik angkatan pun jadi. Motor bebek yang bapak percayakan menjadi modal.
Modusnya, aku hubungi adik angkatan dua tahun di bawahku---datanya aku minta pada staf TU---untuk mengajak Persekutuan Doa (PD) fakultas atau kegiatan science club. Jelek-jelek begini, aku pernah dipercaya menjadi ketua science club, loh. Inilah peluang untuk mengincar lawan jenis, salah satu targetnya mahasiswa turunan Jawa-Lampung. Dia cantik, kulit sawo matang, manis lagi. Dia juga ramah padaku. Dengan daftar itu saja sudah menggetarkanku.
Sayangnya, doi keburu disambet teman satu pelayanannya di organisasi kerohanian kampus. Apes. Rivalku lebih ganteng dan gagah, lebih fashionable serta gaul. Aku kalah jauh. Sampai di titik ini aku bahkan tak tahu, apa fondasi kokoh untuk menjalin relasi dengan lawan jenis. Tak menyerah, aku tetap menjaga komunikasi dengan adik angkatan itu, siapa tahu kelak ada mujizat, putus misalnya.
Benar, dia putus. Wah... kesempatan nih. Tapi, doi langsung jadian sama cowok lain. Sadap! Tidak bisa nganggur doi rupanya. Berarti layak diperjuangkan, pikirku saat itu. Aku terus berdoa agar terjadi mujizat, supaya dia putus lagi. Doa macam apa ini?
Terkabul! Dia putus lagi. Kurasa Tuhan akhirnya menaruh belas kasihan pada nasibku. Dua kali adik angkatan itu putus dari hubungan pacarnya, berarti tidak cocok. Barangkali aku yang akan cocok dengannya. Kukira dia akan memberiku kesempatan untuk pendekatan, mengungkapkan perasaan, lalu menjadi pacarnya.
Tapi malang tak mau hengkang. Doaku agar doi putus bukanlah sesuatu yang berkenan pada Tuhan. Dua kali doi berakhir relasi dengan pacarnya tak memberi sedikitpun kemungkinan dia mau jadi pacarku. Seintens apa pun aku mendekati dan berkomunikasi dengannya, seberapa tekun aku berdoa (tentu saja ini bukan doa yang benar), impian itu tak pernah tercapai. Dia hanya menganggapku sebagai kakak, titik. Padahal, aku bela-belain mengantar-jemput ke kosnya, aku ajak ibadah bareng, kutraktir makan dari upah dari gaji les privat, hingga membelikan boneka dan coklat saat valentine. Nihil. Nasib-nasib...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H