Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Beda Adat, Siapa Takut? #2

20 November 2021   19:15 Diperbarui: 20 November 2021   20:47 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cinta monyet | foto: selipan.com via fareastfilm.com

Aku tak tahu apa tujuan pacaran. Tapi ada ketertarikan pada lawan jenis yang mustahil diabaikan. Aku kudu piye?

Pertama kali Kris merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis adalah kelas 6 Sekolah Dasar. Masa di mana belum tahu apa itu pacaran. Pokoknya tertarik dengan teman perempuan. Cari perhatian, suka menggoda, tebar pesona. Entah apa yang merasukiku, hingga mengalami perasaan semacam itu.

Sekolah kami terletak di salah satu dusun kecil Desa Watuagung. Di SD kami, jumlah muridnya sedikit. Satu angkatanku hingga di kelas enam hanya 13 orang, tiga diantaranya perempuan. Satu dari tiga itu berhasil memikatku (Sebenarnya aku yang gampangan terpikat). Selain cantik dengan potongan rambut sebahu, dia juga cerdas. Di masa itu kamu punya grup belajar. Markasnya di rumahnya, berjarak hanya sepetak kebun. Doi juga "guru lesnya". Dia mengajariku dan teman-teman---kelompok bocah berkapasitas otak di bawah rata-rata---cara menghafal bilangan perkalian-pembagian dengan tabel berwarna-warni.

Sebenarnya tabel operasi dasar matematika ini banyak dijajakan penjual mainan di halaman sekolah. Tapi ya itu tadi, kemampuan menggunakan otak di bawah rata-rata, ditambah rasa malas. Tapi doi beda. Sudah cantik, pintar, tidak sombong lagi. Siapa yang tidak naksir?

Baca juga: Beda Adat, Siapa Takut? #1

Demi mencuri perhatiannya, aku melakukan hal-hal norak. Saat jeda pelajaran aku melempar gulungan kertas ke arahnya. Atau jika berpapasan, aku pura-pura menabraknya. Lalu dia akan marah dengan nada manja, aku pun bahagia. Dasar bocah! (Anda pernah lebih norak?) Kata orang, inilah cinta monyet.

Padahal, waktu itu aku tidak ada apa-apanya dibanding teman-temanku yang cakap berbicara, perawakan lebih tegap, jago olah raga lagi. Jika ada kompetisi memperebutkan si kembang kelas, aku pasti nomor satu---kalahnya!

Tapi hanya sampai di situ kisahku dengannya. Begitu lulus, kami melanjutkan ke sekolah yang berlainan. Ada yang memilih SMP di desa sebelah yang lebih dekat. Ada juga yang memilih ke kota yang sarana-prasarananya lebih lengkap. Syukurnya, bapakku cukup peduli pada pendidikanku. Disekolahkannya aku ke kota, sehingga pergaulan dan keterampilanku bisa berkembang. Ada satu teman SD (cowok) yang satu SMP denganku. Dia tidak tahu lengkap kisahku, bahkan bisa jadi tidak ada yang tahu karena aku memendam perasaan---bakat melankolis. Jadi tak harus menahan malu. Dan selamat, anda yang kedua tahu aibku (setelah istri, hehe).

Di tahun kedua di bangku SMP, ketertarikan pada lawan jenis bukannya hilang, justru kian membara. Aku naksir berat pada adik kelas. Cantik, wajahnya kalem, kulitnya putih, rambutnya panjang. Aduhai... Memandang di kejauhan saja aku sudah meleleh...

Kondisi ini sekaligus mendaratkan realita, dia mustahil kuraih. Pungguk merindukan rembulan. Dia bahkan tidak tahu namaku. Aku tahu namanya karena populer seantero sekolah.

Jika berpapasan di lorong kelas atau di tepi jalan, jantungku dag-dig-dug serrr... mau copot rasanya! Ini rupanya yang pujangga sebut jatuh cinta. Mau berkenalan tapi gentar. Culun. Mentok hanya jadi penggemar rahasia. Dengan konyol, aku menulis singkatan namanya di meja kelas dengan correction pen. Demi apa, coba? Yah... namanya juga bocah kasmaran. Tak sanggup beraksi, meja kelas jadi media komunikasi.

Sampai di titik ini aku tidak menceritakan perasaanku kepada ayah atau ibu. Takut, malu, dan tak tahu bagaimana harus bicara. Kepada teman tidak, pada saudara sepupu apalagi. Tebakanku, jika cerita ke orang tua aku bakal diomel, "Masih kecil ndak usah pacar-pacaran! Sekolah yang benar!"

Aku juga tidak ingin pacaran sebenarnya. Tak tahu pula apa tujuannya. Tapi perasaan ini mustahil disangkal. Aku harus bagaimana?

Aksi melukis meja ketangkap basah temanku. Buahnya, aku di-bully habis-habisan. "Kamu suka dia...? Ngimpi! Ketinggian!..." Sakiiiiitt rasanya. Ini belum penolakan langsung dari sang gadis. Beginikah hukum asmara, mencinta tapi menderita? Eeaaa...

Beranjak SMA, aku makin tahu diri. Meski banyak lawan jenis yang menawan, aku tak ingin gegabah. Lebih hati-hati melangkah. Soalnya, kehidupan SMA lebih kompleks. Teman-temanku yang dari keluarga berada bisa pamer HP, sedang aku pegang HP saja tak pernah. Atau sepeda motor, sedang aku pergi-pulang naik mobil---plat kuning.

Bagaimana mau mendekati cewek, naik motor aku tak bisa! Bapakku hanya buruh lepas. Bisa menyekolahkan sampai SMA sudah puji Tuhan. Bapak bisa membeli motor bebek gres juga setelah bertahun-tahun menghimpun rupiah. Aku baru dipercayakan mengendarai motor bapak saat lulus SMA. Bayangkan...

Di usia SMA aku lebih mengenal rasa malu. Malu kalau ditolak sebelum menyatakan perasaan. Malu dihujat tukang ngimpi. Malu kalau dibilang miskin, berani-beraninya mendekati cewek. Lagipula, aku ke sekolah 'kan untuk menuntut ilmu bukan pacaran. Menghibur diri. Bisa dikatakan, semasa SMA aku tidak terlibat asmara dengan teman-teman di sekolah. Pergaulanku juga tidak luas. Masa putih-abu yang betulan abu-abu.

Namun, sekuat apapun menyangkal diri, aku tidak kuasa menampik ketertarikan pada lawan jenis. Aku ingin punya pacar, tekadku. Soalnya, teman-temanku pun begitu. Wajar. Bedanya, keluarga mereka lebih berada.

Selepas SMA, dalam masa persiapan masuk kuliah, aku mendekati adik angkatan gereja yang paling cantik. Rambutnya panjang, kulitnya putih, aromanya selalu wangi. (Kenapa aku sekali ketinggian kalau ngimpi ya...) Meski punya cermin di pintu lemari, rasanya tak berfungsi. Aku enggan mengakui rupa dan keadaan hidupku yang serba kurang. Berani-beraninya menaksir teman cewek yang cantik-cantik.

Merasa kesulitan mengungkapkan perasaan lewat tutur, aku menulis surat kepada adik gereja. Sekedar menyerahkan, lalu ngacir. Dan tak pernah dibalas. Padahal aku bela-belain membeli kertas isi binder warna-warni, ditulis dengan tinta tiga warna! Sampai aku bongkar celengan bambu demi membelikan hadiah valentine buat doi! Tetap saja, aku bukan levelnya. Paling ironi, doi malah nempel pada teman satu gerejaku. Sakitnya tuh...

Ada untungnya aku berwatak ambisius. Berkali-kali ditolak, kaki harus tetap tegak. Dalam tahap berikutnya aku kuliah di kampus swasta di Salatiga, Fakultas Sains dan Matematika, Program Studi Pendidikan Fisika. Wiiiih, jurusan fisika. Kerennn! Aslinya bukan apa-apa. Bisa dibilang, masuk jurusan fisika karena "kecelakaan".

Sebagai mahasiswa, aku merasa telah dewasa, lebih bebas, dan lebih siap berpacaran. Tak dapat teman sebaya, adik angkatan pun jadi. Motor bebek yang bapak percayakan menjadi modal.

Modusnya, aku hubungi adik angkatan dua tahun di bawahku---datanya aku minta pada staf TU---untuk mengajak Persekutuan Doa (PD) fakultas atau kegiatan science club. Jelek-jelek begini, aku pernah dipercaya menjadi ketua science club, loh. Inilah peluang untuk mengincar lawan jenis, salah satu targetnya mahasiswa turunan Jawa-Lampung. Dia cantik, kulit sawo matang, manis lagi. Dia juga ramah padaku. Dengan daftar itu saja sudah menggetarkanku.

Sayangnya, doi keburu disambet teman satu pelayanannya di organisasi kerohanian kampus. Apes. Rivalku lebih ganteng dan gagah, lebih fashionable serta gaul. Aku kalah jauh. Sampai di titik ini aku bahkan tak tahu, apa fondasi kokoh untuk menjalin relasi dengan lawan jenis. Tak menyerah, aku tetap menjaga komunikasi dengan adik angkatan itu, siapa tahu kelak ada mujizat, putus misalnya.

Benar, dia putus. Wah... kesempatan nih. Tapi, doi langsung jadian sama cowok lain. Sadap! Tidak bisa nganggur doi rupanya. Berarti layak diperjuangkan, pikirku saat itu. Aku terus berdoa agar terjadi mujizat, supaya dia putus lagi. Doa macam apa ini?

Terkabul! Dia putus lagi. Kurasa Tuhan akhirnya menaruh belas kasihan pada nasibku. Dua kali adik angkatan itu putus dari hubungan pacarnya, berarti tidak cocok. Barangkali aku yang akan cocok dengannya. Kukira dia akan memberiku kesempatan untuk pendekatan, mengungkapkan perasaan, lalu menjadi pacarnya.

Tapi malang tak mau hengkang. Doaku agar doi putus bukanlah sesuatu yang berkenan pada Tuhan. Dua kali doi berakhir relasi dengan pacarnya tak memberi sedikitpun kemungkinan dia mau jadi pacarku. Seintens apa pun aku mendekati dan berkomunikasi dengannya, seberapa tekun aku berdoa (tentu saja ini bukan doa yang benar), impian itu tak pernah tercapai. Dia hanya menganggapku sebagai kakak, titik. Padahal, aku bela-belain mengantar-jemput ke kosnya, aku ajak ibadah bareng, kutraktir makan dari upah dari gaji les privat, hingga membelikan boneka dan coklat saat valentine. Nihil. Nasib-nasib...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun