Kondisi ini sekaligus mendaratkan realita, dia mustahil kuraih. Pungguk merindukan rembulan. Dia bahkan tidak tahu namaku. Aku tahu namanya karena populer seantero sekolah.
Jika berpapasan di lorong kelas atau di tepi jalan, jantungku dag-dig-dug serrr... mau copot rasanya! Ini rupanya yang pujangga sebut jatuh cinta. Mau berkenalan tapi gentar. Culun. Mentok hanya jadi penggemar rahasia. Dengan konyol, aku menulis singkatan namanya di meja kelas dengan correction pen. Demi apa, coba? Yah... namanya juga bocah kasmaran. Tak sanggup beraksi, meja kelas jadi media komunikasi.
Sampai di titik ini aku tidak menceritakan perasaanku kepada ayah atau ibu. Takut, malu, dan tak tahu bagaimana harus bicara. Kepada teman tidak, pada saudara sepupu apalagi. Tebakanku, jika cerita ke orang tua aku bakal diomel, "Masih kecil ndak usah pacar-pacaran! Sekolah yang benar!"
Aku juga tidak ingin pacaran sebenarnya. Tak tahu pula apa tujuannya. Tapi perasaan ini mustahil disangkal. Aku harus bagaimana?
Aksi melukis meja ketangkap basah temanku. Buahnya, aku di-bully habis-habisan. "Kamu suka dia...? Ngimpi! Ketinggian!..." Sakiiiiitt rasanya. Ini belum penolakan langsung dari sang gadis. Beginikah hukum asmara, mencinta tapi menderita? Eeaaa...
Beranjak SMA, aku makin tahu diri. Meski banyak lawan jenis yang menawan, aku tak ingin gegabah. Lebih hati-hati melangkah. Soalnya, kehidupan SMA lebih kompleks. Teman-temanku yang dari keluarga berada bisa pamer HP, sedang aku pegang HP saja tak pernah. Atau sepeda motor, sedang aku pergi-pulang naik mobil---plat kuning.
Bagaimana mau mendekati cewek, naik motor aku tak bisa! Bapakku hanya buruh lepas. Bisa menyekolahkan sampai SMA sudah puji Tuhan. Bapak bisa membeli motor bebek gres juga setelah bertahun-tahun menghimpun rupiah. Aku baru dipercayakan mengendarai motor bapak saat lulus SMA. Bayangkan...
Di usia SMA aku lebih mengenal rasa malu. Malu kalau ditolak sebelum menyatakan perasaan. Malu dihujat tukang ngimpi. Malu kalau dibilang miskin, berani-beraninya mendekati cewek. Lagipula, aku ke sekolah 'kan untuk menuntut ilmu bukan pacaran. Menghibur diri. Bisa dikatakan, semasa SMA aku tidak terlibat asmara dengan teman-teman di sekolah. Pergaulanku juga tidak luas. Masa putih-abu yang betulan abu-abu.
Namun, sekuat apapun menyangkal diri, aku tidak kuasa menampik ketertarikan pada lawan jenis. Aku ingin punya pacar, tekadku. Soalnya, teman-temanku pun begitu. Wajar. Bedanya, keluarga mereka lebih berada.
Selepas SMA, dalam masa persiapan masuk kuliah, aku mendekati adik angkatan gereja yang paling cantik. Rambutnya panjang, kulitnya putih, aromanya selalu wangi. (Kenapa aku sekali ketinggian kalau ngimpi ya...) Meski punya cermin di pintu lemari, rasanya tak berfungsi. Aku enggan mengakui rupa dan keadaan hidupku yang serba kurang. Berani-beraninya menaksir teman cewek yang cantik-cantik.
Merasa kesulitan mengungkapkan perasaan lewat tutur, aku menulis surat kepada adik gereja. Sekedar menyerahkan, lalu ngacir. Dan tak pernah dibalas. Padahal aku bela-belain membeli kertas isi binder warna-warni, ditulis dengan tinta tiga warna! Sampai aku bongkar celengan bambu demi membelikan hadiah valentine buat doi! Tetap saja, aku bukan levelnya. Paling ironi, doi malah nempel pada teman satu gerejaku. Sakitnya tuh...