Aku tak tahu apa tujuan pacaran. Tapi ada ketertarikan pada lawan jenis yang mustahil diabaikan. Aku kudu piye?
Pertama kali Kris merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis adalah kelas 6 Sekolah Dasar. Masa di mana belum tahu apa itu pacaran. Pokoknya tertarik dengan teman perempuan. Cari perhatian, suka menggoda, tebar pesona. Entah apa yang merasukiku, hingga mengalami perasaan semacam itu.
Sekolah kami terletak di salah satu dusun kecil Desa Watuagung. Di SD kami, jumlah muridnya sedikit. Satu angkatanku hingga di kelas enam hanya 13 orang, tiga diantaranya perempuan. Satu dari tiga itu berhasil memikatku (Sebenarnya aku yang gampangan terpikat). Selain cantik dengan potongan rambut sebahu, dia juga cerdas. Di masa itu kamu punya grup belajar. Markasnya di rumahnya, berjarak hanya sepetak kebun. Doi juga "guru lesnya". Dia mengajariku dan teman-teman---kelompok bocah berkapasitas otak di bawah rata-rata---cara menghafal bilangan perkalian-pembagian dengan tabel berwarna-warni.
Sebenarnya tabel operasi dasar matematika ini banyak dijajakan penjual mainan di halaman sekolah. Tapi ya itu tadi, kemampuan menggunakan otak di bawah rata-rata, ditambah rasa malas. Tapi doi beda. Sudah cantik, pintar, tidak sombong lagi. Siapa yang tidak naksir?
Baca juga: Beda Adat, Siapa Takut? #1
Demi mencuri perhatiannya, aku melakukan hal-hal norak. Saat jeda pelajaran aku melempar gulungan kertas ke arahnya. Atau jika berpapasan, aku pura-pura menabraknya. Lalu dia akan marah dengan nada manja, aku pun bahagia. Dasar bocah! (Anda pernah lebih norak?) Kata orang, inilah cinta monyet.
Padahal, waktu itu aku tidak ada apa-apanya dibanding teman-temanku yang cakap berbicara, perawakan lebih tegap, jago olah raga lagi. Jika ada kompetisi memperebutkan si kembang kelas, aku pasti nomor satu---kalahnya!
Tapi hanya sampai di situ kisahku dengannya. Begitu lulus, kami melanjutkan ke sekolah yang berlainan. Ada yang memilih SMP di desa sebelah yang lebih dekat. Ada juga yang memilih ke kota yang sarana-prasarananya lebih lengkap. Syukurnya, bapakku cukup peduli pada pendidikanku. Disekolahkannya aku ke kota, sehingga pergaulan dan keterampilanku bisa berkembang. Ada satu teman SD (cowok) yang satu SMP denganku. Dia tidak tahu lengkap kisahku, bahkan bisa jadi tidak ada yang tahu karena aku memendam perasaan---bakat melankolis. Jadi tak harus menahan malu. Dan selamat, anda yang kedua tahu aibku (setelah istri, hehe).
Di tahun kedua di bangku SMP, ketertarikan pada lawan jenis bukannya hilang, justru kian membara. Aku naksir berat pada adik kelas. Cantik, wajahnya kalem, kulitnya putih, rambutnya panjang. Aduhai... Memandang di kejauhan saja aku sudah meleleh...