Di pintu masuk, petugasnya seorang muda, menanyakan ada keperluan apa. Lalu diberinya aku kertas antrian. (Sampai di sini, antara sebal---karena pemda tidak konsisten dan bersyukur---karena masih dapat pelayanan. Mungkin antrean online ini ditegakkan hanya di awal pandemi merajalela.Â
Fokusnya membatasi jumlah orang dalam ruangan.) Aku di urutan 152, antrean di nomor 120-an. Menunggu 30an orang tak apa, daripada menghabiskan 3 jam pergi-pulang plus antre lagi menempuh 90 km bolak-balik.
Sekitar sejam, antreanku tiba. Maksimal lima orang saja 'pelanggan' yang boleh di dalam ruangan. Oleh ibu petugasnya, sempat ditanyakan apakah sudah mendaftar antrian online. "Belum", balasku.Â
Dan tak ada masalah. Formulir dari kecamatan segera diproses, 20 menit kemudian diberi nota untuk mengambil surat keterangan pindah, tiga hari lagi. Selesai semua? Ngimpi. Masih harus memasukkan berkas ke kelurahan tujuan. Sabarrr...
Wasana kata. Seribet, sejauh, senjelimet bagaimana; kalau berkaitan dengan administrasi kependudukan, sebaiknya diurus. Latihan sabar, nantinya jadi gigih.Â
Demi memperlancar urusan ke depan. Kedua, jangan kaku mutlak sepertiku. Ada kalanya, pura-pura bego menjadikan sesuatu efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H