Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sistem Tak Bisa Dikibuli, tapi Manusia Bisa Dilobi

13 April 2021   19:44 Diperbarui: 13 April 2021   19:45 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antrian di depan kantor Dispenduk Bulusan | dokumentasi pribadi

Akhir Maret lalu, terbitlah surat nikah dari kantor Disdukcapil Ungaran (domosiliku). Akhirnya... 'Cuma' enam bulan buat mengurus. Tak kurang dari seratus delapan puluh hari. Singkat, toh? Aku akhiri status nikah siri terhadap istriku. Sejak awal memang kami tak berniat, keidean pun tidak, nikah siri.

Aku mau berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara, nikahnya harus sah di depan agama dan negara dong! Cukup satu. Menolak keras poligami.

Surat nikah sudah terbit. Selesai soal? O, tenang. Belanda masih jauh. Aku masih harus pecah KK dari bapakku. Syaratnya, aku dan istri harus mencabut berkas dari kelurahan masing-masing, Ungaran dan Bulusan (Tembalang).

Baca juga: Aplikasi Sipenduk Online: Inovatif tapi Tidak Solutif

Biar laut bergelora dan pandemi Covid-19 masih mengganas. Meski aku belum tahu dapat stok vaksin atau tidak. Walau bulan April masih turun hujan. Berkas itu harus tetap diurus, toh?

Sekolahku libur dua hari dalam rangka awal puasa Ramadhan. Ngapain biar produktif? Urus berkas, dong.

Pertama-tama, aku urus berkas di kelurahanku. Dari RT (lancar!, hihi), RW, lalu kelurahan. Biasanya dari kelurahan harus lanjut ke kecamatan, dan/atau Dukcapil. "Ini mau diurus ke kecamatan atau onlen, mas?" Retoris. Kalau bisa ribet, ngapain ringkas? "Onlen saja pak".

Perlu setidaknya 25 menit sampai dataku tercatat sistem. Maklum, kebijakan baru. Operatornya pun sudah berumur. Sabar... Surat keterangan pindah bakal dikirim ke alamat bapakku, 2-3 minggu kemudian. Satu selesai, tinggal berkas istriku.

Dua hari sebelumnya, sekalian acara di Semarang, kami sudah mencicil minta pengantar dari RT/RW domisili KTP istri. Belajar dari drama sebelumnya, tak bisa sehari jadi. Maka hari ini (12/4), langsung bisa ke kelurahan Bulusan.

Sepuluh menit, terbitlah formulir keterangan pindah istriku. "Ini lanjut ke kecamatan ya mas. Lalu untuk ke Dispenduk, harus antre online di aplikasi atau web ini (menunjuk brosur di sekat akrilik)", jelas bapaknya kelurahan.

Agar jelas, "Berarti ini diteruskan ke kecamatan, kalau yang Dispenduk harus antrean online ya, pak?" "Iya mas. Ini sudah penuh hari ini. Kalau daftar antrean besok, baru tersedia hari berikutnya", jelas bapaknya. Ngeyel, aku buka website dimaksud. "Pak, ini sudah saya coba dua kali, kok antrean tidak tersedia?" "Iya mas, kan antrean hari ini sudah penuh." Merasa be*o sejagad.

Baca juga: Kamu "Dirempongkan" di Dukcapil Online? Tenang, Ini Tipsnya

Di kantor kecamatan. Tak ada warga lain. Setelah introduksi di meja petugas, "Ini tidak perlu ke sini Mas, soalnya tidak ada tempat untuk kecamatan. Langsung ke Dispenduk, di pojokan sana." Harus antre online, begitu jawab atas tanyaku apakah bisa langsung atau bagaimana.

Fiks. Harus antre online, besok baru bisa mendaftar. Merasa telah menyelesaikan misi, aku melapor istri. Siap meluncur pulang, makan, lalu tidur. 

Tapi... Telepon berdering. "Jangan langsung pulang, tanyakan dulu ke Dispenduk siapa tahu bisa." Meski ada benarnya, tapi suara boru Batak di tengah hari itu memerahkan telinga. Gerah, di tepian motor-mobil memacu gas menyisakan debu.

Benar juga, lebih baik dicoba tanya ke kantor Dipenduk, pun lokasinya tepat di samping kantor kecamatan, daripada besok baru daftar antrean, terus esoknya ke Semarang lagi. Repot.

Kapan lalu, setelah beberapa kali kayak setrika ke kantor Dukcapil Ungaran, karena tidak antre, nomor antrean online-ku tidak dicek. 

Lancar jaya aku melenggang dari pintu masuk ke ruang petugasnya. Itulah dasar istriku memberi dorongan. "Pura-pura bego aja nanti. Saya tak tahu pak, dari Salatiga soalnya, gitu." Sumpe, kudu pura-pura bego, gitu? Demi keselamatan berkendara, mari kita coba.

Tak lebih dari 3 km aku putar balik. Antrean memadati halaman kantor Dispenduk Tembalang, kombinasi antara manusia dan tunggangan roda dua. Seperti biasa, parkingman adalah informan terjitu dan terjangkau. 

"Mas, masih bisa (dilayani)?", sapaku sambil mesin motor tetap menyala. Masih bisa katanya. "Tanpa antrean online? Bisa manual?" Bisa, tegasnya. Wow! Aku sebal mengakui, tapi istriku benar.

Sistem memang tak bisa dikibuli, tapi manusia bisa dilobi

Di pintu masuk, petugasnya seorang muda, menanyakan ada keperluan apa. Lalu diberinya aku kertas antrian. (Sampai di sini, antara sebal---karena pemda tidak konsisten dan bersyukur---karena masih dapat pelayanan. Mungkin antrean online ini ditegakkan hanya di awal pandemi merajalela. 

Fokusnya membatasi jumlah orang dalam ruangan.) Aku di urutan 152, antrean di nomor 120-an. Menunggu 30an orang tak apa, daripada menghabiskan 3 jam pergi-pulang plus antre lagi menempuh 90 km bolak-balik.

Sekitar sejam, antreanku tiba. Maksimal lima orang saja 'pelanggan' yang boleh di dalam ruangan. Oleh ibu petugasnya, sempat ditanyakan apakah sudah mendaftar antrian online. "Belum", balasku. 

Dan tak ada masalah. Formulir dari kecamatan segera diproses, 20 menit kemudian diberi nota untuk mengambil surat keterangan pindah, tiga hari lagi. Selesai semua? Ngimpi. Masih harus memasukkan berkas ke kelurahan tujuan. Sabarrr...

Wasana kata. Seribet, sejauh, senjelimet bagaimana; kalau berkaitan dengan administrasi kependudukan, sebaiknya diurus. Latihan sabar, nantinya jadi gigih. 

Demi memperlancar urusan ke depan. Kedua, jangan kaku mutlak sepertiku. Ada kalanya, pura-pura bego menjadikan sesuatu efektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun