Aku bingung dengan kehidupanku sekarang ini. Apa aku mampu menanggung semua permasalahan ini? Aku kecewa terhadap ayahku yang lebih memilih menikah lagi setelah hampir sepuluh tahun ibu meninggalkan kami. Kini ibu tiriku itu sedang hamil dan itu hanya akan membuat ayah semakin cuek kepadaku.
 Aku tidak tahan dengan semua ini dan dari awal ayah membawa wanita itu ke rumah ini saja sudah membuatku muak dan sakit hati. Lebih baik aku pergi saja dari rumah ini, aku tidak tahan dengan semua keadaan disini. Rasanya keberadaanku ini hanya akan menjadi perusak kebahagiaan mereka saja.
Aku bergegas meninggalkan rumah. Ketika aku melangkah keluar rumah dan hendak melangkah, aku berbalik sebentar melihat kembali tempat yang sepuluh tahun yang lalu telah berkurang kehangatannya sepeninggalan bunda.Â
Sambil berjalan pelan aku pergi meninggalkan rumah, sepanjang malam ini aku harus bingung harus kemana aku melangkah.Â
Aku melihat sekelilingku tampak jalanan sangat sepi karena ini sudah larut malam. Angin malam membuatku kedinginan. Aku berhenti sejenak untuk memakai jaket agar dapat memberikan sedikit kehangatan di tubuhku. Â Â Â Â Â
Perjalananku tak terasa sudah hampir sampai ke tujuanku ke kota Jakarta. Di tengah malam yang dingin ini. aku bingung mau kemana arah perjalananku  ini. aku berjalan mengikuti arah kakiku melangkah tak tahu kemana.
"Mau kemana, nona?" seseorang menegurku.
Aku melihat dari sudut mataku. Seorang lelaki seumur ayahku turun dari mobilnya datang menghampiriku. Dia melihatku lalu lantas tersenyum kepadaku sejenak, aku merasa sangat tidak nyaman terhadap senyuman itu.
"Kamu sendiri saja, cantik?", ujar pria itu.
"Apa maumu?", balasku sedikit ketakutan.
"Ayolah! Aku tahu kamu pasti membutuhkan kehangatan!", katanya sambil memegang tanganku.
"Tidak, lepaskan aku!", jawabku penuh ketakutan. Aku melihat keadaan sekelilingku tapi tidak ada siapa pun. Lantas hendak ingin berlari tapi tangannya sangat kuat memegang tanganku.
"Jangan terlalu terburu-buru nona, santai saja! Ayolah ikut kami!"
Tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti di depan kami dan seorang pria turun dari mobil itu. Aku masih sempat melihat bentuk tubuhnya yang tinggi dan atletis. Namun, karena keremangan malam hari, aku tidak bisa melihat wajahnya.
 Lelaki itu pun melepas cengkeraman tangannya di tanganku. Setelah itu, aku berlari sekencang-kencangnya dari tempatku meninggalkan mereka yang mulai bertengkar. Aku memang tidak tahu diri. Aku begitu saja meninggalkan lelaki itu tanpa memikirkan bagaimana keadaannya nanti.
Tapi di sampingku aku sendiri ketakutan sampai akhirnya aku berhenti di depan emperan ruko dimana banyak anak jalanan, ibu-ibu, dan bapak-bapak yang tidur hanya beralaskan dengan koran. Aku pun duduk menyandarkan tubuhku pada tembok ruko. Aku tidak tahu harus kemana lagi diriku ini. Mungkin untuk malam ini, aku disini dulu dan tidak mungkin untuk kembali ke rumahku. Itu hanya akan membuatku semakin menderita.
Sedangkan disisi lain tempat pria tadi malah bingung kenapa perempuan itu langsung lari. "Dasar gadis tidak tahu terima kasih! Sudah ditolong, malah main lari saja. Lebih baik tidak usah ditolong saja kalau seperti itu!", katanya di dalam hati. Lalu dia pun masuk lagi ke dalam mobilnya dan lekas meninggalkan tempat itu.
Tak terasa pagi telah datang, aku terbangun. Walaupun matahari belum menampakkan wajahnya. Aku harus secepatnya pergi dari tempat ini. Aku pun kembali melanjutkan perjalananku. Aku menyusuri sisi jalanan kota Jakarta yang semakin ramai dengan orang-orang yang berlalu ke tempat peraduannya masing-masing tanpa terasa perutku mulai terasa lapar. Aku pun berjalan sambil mencari tempat makanan. Akhirnya, aku pun menemukan sebuah warung makanan.
 "Mau pesan apa, Mbak?", kata seorang wanita paruh baya pemilik warung itu.
 "Nasi pakai telur ya, Bu!"
"Oh, tunggu sebentar ya, Mbak!". Tidak lama kemudian wanita itu datang membawa nampan yang berisi makanan.
"Ini, mbak!"
"Terima kasih ya, bu!", kataku lalu mulai menyantap makanan itu.
"Sedang mencari tempat tinggal ya, mbak?", tiba-tiba wanita disebelahku memulai pembicaraan denganku.
"Eh, iya bu! Apa ibu tahu kontrakan yang murah di daerah sini?"
 "Ya, saya kebetulan tahu tempatnya. Kontrakannya berada di sebelah rumah saya kosong, orangnya baru saja pindah kemarin"
 "Oh, boleh. Jadi kalau mbak mau, saya bisa mengantarkan mbak sekarang kesana"
"Oh, ya. Terima kasih ya, bu! Saya mau, kok", jawabku dengan sungguh-sungguh.
Sesudah aku menyelesaikan makan dan membayar makananku, aku beranjak mengikuti wanita yang menurutku seumuran denganku. Di sepanjang jalan, wanita itu berusaha mengakrabkan diri denganku.
"Oh ya, Siapa nama mbak?", tanyanya.
 "Lia", jawabku singkat.
"Panggil saja saya Ibu Ani", kata wanita itu dengan kalem.
"Mbak pindahan darimana?"
"Saya pindah dari bogor bu. Ingin mencari pekerjaan ke kota ini."
"Oh, begitu mudah-mudahan saja kamu cepat dapat kerja di sini ya"
 "Iya, terima kasih, Bu!"
Sambil terus berjalan, tidak terasa kami telah sampai di suatu perkampungan yang menurutku agak kumuh. Tapi, bagaimana pun aku tidak punya pilihan karena uang yang aku punya hanya tinggal sedikit lagi. Jadi, aku harus bisa menggunakannya sehemat mungkin.
 "Ini mbak kontrakan yang nantinya akan mbak tempati"
"Oh ya, mbak", kataku sambil melihat rumah itu.
"Sepertinya mbak tidak terbiasa ya dengan keadaan rumah yang seperti ini ya?"
 "Tidak, kok bu, mungkin itu hanya perasaan mbak saja"
Sebetulnya, aku memang merasa tidak nyaman dengan kondisi rumah seperti ini karena telah terbiasa hidup berkecukupan bersama ayah. Walau bagaimanapun aku harus mampu bertahan hidup tanpa mereka dan melanjutkan hidupku.
 "Eh, ibu darimana saja!", kata seorang gadis yang menurutku seumuranku denganku baru saja menghampiri kami di teras rumah.
"Ini, ibu tadi dari warung makannya Ibu Sri dan bertemu mbak ini. Dia mau menempati kontrakan ini"
 "Wah, asyik dong ada tetangga baru", girang gadis itu.
 "Oh ya, kenalin ini anak saya, Seruni"
"Lia", kataku sambil bersalaman.
"Seruni, mbak", katanya tersenyum.
"Ya sudah, mulai hari ini kamu sudah bisa menempati rumah ini", katanya sambil menyerahkan kunci rumah itu.
Mulai hari ini aku sudah memulai hidup sendiri, tanpa ada ayah yang biasanya setiap hari selalu ku lihat bersama ibu tiriku itu. Aku harus bisa hidup tanpa mereka, walau aku hanya lulusan SMA. Mulai besok aku harus mencari pekerjaan supaya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hariku karena uang yang aku punya tidaklah cukup untuk keperluanku selanjutnya.
Keesokan harinya, aku bersiap-siap untuk segera bergegas ke luar rumah mencari pekerjaan.
"Pagi, mbak Lia udah rapi aja nih!" puji Seruni.
 "Pagi juga, iya nih, mbak mau mencari pekerjaan dulu", kataku.
"Oh gitu, ya sudah hati-hati ya mbak, semoga lekas dapat kerjaan"
"Iya mudah-mudahan. Doakan aja ya"
"Sip deh mbak"
Akupun kembali melanjutkan langkahku sambil berharap agar hari ini aku bisa mendapat pekerjaan.
"Maaf mbak, perusahaan kami tidak menerima lowongan pekerjaan", begitulah hasil yang ku terima setelah menanyakan lowongan pekerjaan di beberapa tempat . Aku pun kembali melanjutkan langkahku. Tiba-tiba ada mobil yang hampir menabrakku. Aku pun terjatuh ke aspal jalanan karena sangat terkejut akan kedatangan mobil itu. Seorang pria turun dari mobil itu dan tampak berjalan menghampiriku
" Maaf, saya tadi terburu-buru. Jadi, gak sengaja membuat mbak hampir ketabrak mobil saya", katanya sembari membantu saya bangkit.
     "Oh ya sudah tidak apa-apa", kataku
     "Apa perlu saya bawa ke rumah sakit?", katanya.
     "Oh, tidak perlu, saya baik-baik saja kok"
     "Yang benar mbak?"
     "Iya"
     "Oh ya, nama mbak siapa?" katanya menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
"Nama saya Lia", kembali menjabat tangannya.
     "Oh, kenalin nama saya Hario", katanya sembari tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang menghiasi wajahnya.
     Aku sempat terpana melihat sosok pria yang ada di depanku. Menurutku dia sangat tampan dengan postur tubuh yang tinggi, atletis dan kulitnya yang agak kecoklatan.
     "Hai, mbak, mbak gak apa-apa, kan?", katanya membuyarkan pandanganku.
     "Eh, gak apa-apa kok"
     " Oh ya, mbak sedang apa berjalan sendirian dan sepertinya mbak sedang melamun ya?"
     "Saya sedang mencari pekerjaan tapi belum  yang mau menerima saya karena saya hanya lulusan SMA"
     "Oh, begitu, bagaimana kalau mbak bekerja di  toko buku punya saya. Kebetulan saya sedang mencari orang yang berposisi  kasir di toko buku saya" tawarnya.
     "Beneran mas, saya bisa bekerja di toko bukunya mas?"
     "Iya, bolehlah, hitung-hitung sebagai permintaan maaf saya kepada mbak. Ini kartu nama saya, besok mbak datang saja ke alamat yang ada di situ"
     "Iya, makasih mas sudah mau bantu saya, saya memang sangat butuh pekerjaan ini"
     "Baiklah, saya pergi dulu ya. Besok saya tunggu loh"
     "Iya mas"
     Aku pun sangat senang karena mulai besok aku sudah punya pekerjaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H