Mohon tunggu...
Walkhot Silalahi
Walkhot Silalahi Mohon Tunggu... Guru - Mencerdaskan generasi penerus bangsa

Menuangkan ide dalam bentuk cerpen juga dalam artikel dalam hal pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenang Saya_ng

29 April 2024   20:47 Diperbarui: 29 April 2024   20:53 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                           Kenang Saya_ng

Inspirasi FLS2N peserta dari Amfoang Barat Laut

Oleh Walkhot Silalahi, S.Pd., M.M.

Matahari belum menunjukkan terangnya namun kami tim lomba FLS2N sudah siap berangkat menuju SMAN 1 Amarasi Selatan. Jarak tempuh yang harus dilalui cukup menantang beragam mulai dari kali berbatu, tanjakan penuh debu dan tarik tambang dengan pickup karena tertanam menjadi sukacita perjalan pagi ini. 

Kubayangkan tantangan ini, disaat anak-anak latihan. Tak kenal lapar mereka, bahkan seperti tertanam dalam diri mereka kami harus beraksi, tunjukkan prestasi lewat kesederhanaan tampilan. "Mari anak-anak, tunjukkan prestasimu bukan karena kelebihan dan kemewahan hidupmu, melainkan kesederhanaan dan kerendahan hati dalam penampilan." Kata-kata pamungkas di saat latihan. 

"Bunda, Aku gugup" Seruan hati anak didikku peserta lomba monolog.

"Gugup?... Santai sa belum lomba ju." Jawabku sekenanya. "Mari-mari susun barang-barang dengan rapi di pickup hitam dan pastikan pakaian-pakaian yang hendak dipakai saat lomba besok tidak kotor. Perjalanan yang kita lalui ditemani debu dan jangan pakaian yang necis dulu karena kita akan tarik tambang dengan mobil kalau mobil bannya terbenam atau tidak sanggup mendaki." Aku tak tahu ini kalimat penyemangat atau patahkan semangat anak didikku. 

"Au biase Mama. Na he au poi nako hit kuan he nau ma umolok hen mui amnaut. Ka sa fa hit tamolok amnaut au" Salah seorang peserta lomba tari kreasi menjawab disertai senyum lepas. 

"Apa arti kalimat itu?" Penasaranku bertanya kepada mereka yang sudah duduk rapi di pickup. 

Dok. Qhrizwinda Nino
Dok. Qhrizwinda Nino

"Artinya begini Bunda. Su biasa Bunda. Yang penting keluar dari katong pung kuan dulu bajalan sambil bacarita supaya ada kenangan. Sonde salah kalau katong omong Kenang Saya-ng" Jawab Ariani peserta monolog. 

"Hahaha... mari nikmati perjalanan hari ini susah senang, kenang sayang." Menguatkan semangat mereka. "Untuk kata sayang dipenggal dengan saya panjang dan diakhiri ng. Kita buat kenang saya-ng terindah di 2024. 

Sopir memberi isyarat dengan membunyikan bel panjang pertanda mobil berangkat. Mobil pickup yang memuat anak-anak peserta lomba dan juga yang memuat barang-barang untuk dipamerkan, dan yang akan dikenakan di saat lomba berjalan beriringan. Sopir-sopir handal bukan sopir abal-abal yang masuk wilayah ini. Harus sopir yang siap banting dan pintar mengatur strategi juga pintar membaca situasi karena salah baca yang korban nyawa pasti ada. 

Matahari sudah menunjukkan terangnya setelah berkendara tiga puluh menit masuk sungai pertama, sungai ke dua dan tak tahu ada berapa sungai yang harus dilewati. Tiba di jembatan yang putus maka mobil harus mandi lagi dan anak-anak juga sopir diam menenangkan diri takut dicegat buaya. Ketakutan hilang dan sekarang anak-anak harus turun dari pickup karena tak sanggup mendaki. Sopir turun dan mengambil tali dari belakang joknya, kemudian Ka Kobus mengikat tali di mobil mulailah tarik tambang pertama dengan anak-anak dan kami guru-guru pendamping."Satu... dua... tiga.. Maka tarik" Ka Kobus menjelaskan setelah dia masuk kembali di mobil.  "Satu... dua... tiga.." teriak Ka Kobus. Anak-anak menyahut dengan, "Naik... naik... naik" pickup satu sudah naik dan pickup berikutnya terus sampai pickup ke sepuluh naik kemudian anak-anak berlarian menuju pickup masing-masing. "Memang patut di kenang perjalanan ini." Hati kecilku bergumam. Kupandangi wajah anak-anakku yang mana mereka belum tampil di panggung namun mereka sudah bergumul untuk melewati jalanan yang asik penuh dengan debu. "Kenapa menatap kami seolah-olah ada rasa kasihan terpancar dari kerut dahi, Bunda?" Pertanyaan ini mengekspresikan wajahku sesungguhnya. 

"Itulah Aku." Sahutku singkat. Memang hati tak bisa bersembunyi dari rasa kasihan dari kenyataan hidup yang harus dihadapi anak-anakku. Jauh dan sangat jauh dari keramaian kota juga dari hilir mudiknya kendaraan, dan kalaupun ada keramaian itu pasti disaat pesta, duka, dan di pasar. Wilayah kerjaku masuk kategori terluar, terbelakang dan terpencil. Hanya orang-orang yang berjiwa pelayan, rendah hati dan peduli dengan masa depan bangsa  yang sanggup datang menjadi pelayan ilmu di wilayah. 

"Bunda kita makan dimana karena biasanya beta makan pukul 6:30 sedangkan sekarang su mau pukul 08:30 ni?" Andri bertanya. 

"Semua kalian bawa bekal pagi?" Aku bertanya balik kepada semua yang satu pickup denganku. Sementara jari-jariku tanpa dikomando mengirimkan pesan yang sama ke rekan guru yang ada di pickup lainnya. 

"Ada gula-gula sa, Bunda." Jawab salah seorang muridku. 

"Ketupat tanpa lauk, Bunda." suara Putri.

"Nanti jika sudah lewat di sungai terakhir katong beristirahat ko makan." Jawaban dari kawan guru melalui WA. 

"Kurang lebih dua puluh menit lagi katong istirahat untuk makan karena sonde mungkin katong makan di jalan yang penuh debu." Sahutku. 

"Beta pung maag su kambuh Bunda." Andri melanjutkan keluhannya sambil memegang perutnya. 

"Ketupat mu buka dan kasih makan dia dulu." Aku meminta tolong kepada Putri. Putri dengan sigap membuka tasnya dan memberikan ketupat kepada Andri. "Hanya Andri sa?" yang lain bertanya. Aku hanya menatap karena memang tidak menyiapkan makanan untuk semua. "Makanya jadilah manusia yang berbudi dan peduli." Terkadang kalau suara hati sudah berbicara yang ada tambah sakit rasanya. 

"Bruk" suara keras dari bawah pickup dan disambut teriakan "Tuhan tolong" sopir mematikan mesin kendaraan dan tanpa dikomando kami semua turun bersama-sama melihat ke bawah mobil. Ternyata batu besar menghantam gardan pickup. Sopir dengan cekatan meminta bantuan kami semua untuk ramai-ramai mengangkat mobil dan yang lainnya mengganjal ban supaya lebih tinggi. "Satu dua tiga ganjal." Ka Kobus memberi komando. "Sabar" Andri datang dengan menggendong batu yang besar dan rata. "Pluk" Bunyi batu yang diangkat Andri. "Kalau batu sudah siap baru diangkat." Andri memberi saran seolah-olah dia sudah pengalaman. Dari pickup yang lain pun ramai-ramai mencari baru yang rata agar mudah disusun mulai dari yang besar sampai kecil. Setelah cukup 4 batu pun sudah siap di ban belakang kanan dan kiri. "Satu dua tiga...angkat dan ganjal." Di kiri Pak Jabal dan di kanan Andri. "Siap" Teriak Andri. Batu pertama sudah selesai dan setelah tarik napas sejenak instruksi kedua dimulai, "Satu dua tiga, angkat dan ganjal" Batu kedua pun sudah di atas batu pertama. Ka Kobus menggoyang mobil untuk memastikan posisi sudah aman. 

Teman dan rekan kerja Ka Kobus dengan sigap turun menggulingkan batu yang menyentuh gardan pickup. "Aduh jangan sampai pecah o dan katong sonde jadi pi lai?" Tak tahu siapa nama supir yang menghadirkan keraguan itu. "Picah ko" Ka Kobus membungkuk melihat rekan-rekan kerjanya menggulingkan batu dari gardan pick up. "Tuhan pasti tolong" Suara motivasi pembakar semangat dari belakang entah muridku yang mengucapkan atau siapapun itu yang pasti Tuhan tolong. "Aman." Jawab salah seorang yang membantu menggulingkan batu yang mengena di gardan mobil. 

Sementara mobil pickup kami diperbaiki di cek bagian-bagian yang dicurigai maka kami guru-guru dan anak-anak didik mencari tempat untuk makan. Anak-anak menikmati makanan mereka sementara Kakak-kakak sopir serius memperbaiki pick up Ka Kobus. 

Setelah dinyatakan beres dan tak ada masalah dengan pick up maka kami kembali ke pick up masing-masing dan melanjutkan perjalanan. Selesai sudah tantangan yang berhadapan dengan sungai-sungai yang berbatu dan jalanan berbatu. Anak-anak sekarang menikmati perjalanan dengan nyanyian tanpa iringan gitar untuk mengusir kebosanan. Aku pun termasuk di dalamnya. Memasuki jalan Timor Raya anak-anak semakin kencang mengeluarkan suaranya berdendang dengan suara parau pun tak jadi masalah bagi mereka, sementara anak-anak lainnya sudah tertidur. 

Masuk kembali ke jalur Amarasi tinggal 20 menit lagi sampai di tempat tujuan. Anak-anak yang tadinya terlelap sekarang wajahnya berubah dengan rasa kuatir. "Ingat peran masing-masing. Jangan sia-siakan kesempatan yang diberikan. Wajah Amfoang Barat Laut ada diwajah kalian!" Motivasi menumbuhkan keberanian mengusir ketakutan. "Mereka sama dengan kita, sama-sama makan nasi, sama-sama belajar dari buku yang sama yang berbeda itu hanya ada pada jalan cerita yang kita alami." Kembali ku beri semangat. 

Setibanya di lokasi lomba saya selaku ketua tim melaporkan diri dan semua rekan-rekan guru pendamping dan anak-anak murid cekatan menurunkan barang bawaan. Ada yang langsung merapikan tata letak pagelaran karya, ada yang menuju ruang istirahat sementara saya masih lapor diri dan mengambil nomor undian lomba. 

No 5 untuk tari kreasi, nomor 37 untuk debat bahasa Indonesia, nomor 7 untuk debat bahasa Inggris, nomor 28 untuk melukis dan nomor 6 untuk drama monolog. 

"Bunda beta takut." Setelah nomor undian ku berikan pada anak didik peserta lomba monolog. "Secercah harapan itu tidak akan berubah menjadi kenyataan jika itu hanya sekedar harapan." Kukuatkan anak didikku dengan motivasi pamungkas untuk negeri. 

"Ingat mereka sama dengan kita, lawan mu itu adalah kawan dan sahabatmu. Jangan takut." Kembali aku memberikan dukungan sementara anak didikku mempersiapkan diri menunggu giliran untuk pentas monolog secercah harapan yang akan dibawakannya. 

"Luar biasa sekali penampilan anak itu." Decak kagum diberikan penonton. 

"Suara lantangnya disesuaikan dengan suruhan yang ada dalam teks. Penjiwaan cerita benar-benar hidup." Kembali pujian disampaikan oleh penonton. Aku hanya fokus pada peran yang dimainkan oleh anak didikku seraya hati kecilku berucap, "Tak ada usaha yang sia-sia jika ditemani kesungguh-sungguhan." 

"Secerca harap itu pasti terwujud karena dukungan saudara sekalian. Terima kasih." kata-kata penutup yang disampaikan anakku. Semua dewan juri berdiri memberikan apresiasi dan tepuk yang meriah. Sambutan hangat ini menyiratkan sesuatu yang berbeda. 

Malam sudah hampir berlalu dan keesokannya adalah hari yang paling ditakuti sekalian menegangkan. Tiba di pengumuman monolog, juara 3 dengan nomor lomba 036, juara 2 dengan nomor lomba 023 dan juara satu mewakili SMA tingkat provinsi jatuh pada nomor peserta 06 SMAN 1 Amfoang Barat Laut." 

Dok. Qhrizwinda Nino
Dok. Qhrizwinda Nino

"Aduh beta mati su" Kupeluk anak muridku yang dinyatakan sebagai pemenang juga sebagai perwakilan SMA tingkat provinsi NTT. "Selamat Anakku, perjuangan kita selama latihan tidak sia-sia. Aral rintang yang mencoba menghalangi perjalanan kita ke tempat ini tidak sia-sia. Cocok untuk di Kenang Sayang." Motivasiku menghentarkan dia kepanggung untuk menerima hadiah dari panitia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun