"Beta pung maag su kambuh Bunda." Andri melanjutkan keluhannya sambil memegang perutnya.Â
"Ketupat mu buka dan kasih makan dia dulu." Aku meminta tolong kepada Putri. Putri dengan sigap membuka tasnya dan memberikan ketupat kepada Andri. "Hanya Andri sa?" yang lain bertanya. Aku hanya menatap karena memang tidak menyiapkan makanan untuk semua. "Makanya jadilah manusia yang berbudi dan peduli." Terkadang kalau suara hati sudah berbicara yang ada tambah sakit rasanya.Â
"Bruk" suara keras dari bawah pickup dan disambut teriakan "Tuhan tolong" sopir mematikan mesin kendaraan dan tanpa dikomando kami semua turun bersama-sama melihat ke bawah mobil. Ternyata batu besar menghantam gardan pickup. Sopir dengan cekatan meminta bantuan kami semua untuk ramai-ramai mengangkat mobil dan yang lainnya mengganjal ban supaya lebih tinggi. "Satu dua tiga ganjal." Ka Kobus memberi komando. "Sabar" Andri datang dengan menggendong batu yang besar dan rata. "Pluk" Bunyi batu yang diangkat Andri. "Kalau batu sudah siap baru diangkat." Andri memberi saran seolah-olah dia sudah pengalaman. Dari pickup yang lain pun ramai-ramai mencari baru yang rata agar mudah disusun mulai dari yang besar sampai kecil. Setelah cukup 4 batu pun sudah siap di ban belakang kanan dan kiri. "Satu dua tiga...angkat dan ganjal." Di kiri Pak Jabal dan di kanan Andri. "Siap" Teriak Andri. Batu pertama sudah selesai dan setelah tarik napas sejenak instruksi kedua dimulai, "Satu dua tiga, angkat dan ganjal" Batu kedua pun sudah di atas batu pertama. Ka Kobus menggoyang mobil untuk memastikan posisi sudah aman.Â
Teman dan rekan kerja Ka Kobus dengan sigap turun menggulingkan batu yang menyentuh gardan pickup. "Aduh jangan sampai pecah o dan katong sonde jadi pi lai?" Tak tahu siapa nama supir yang menghadirkan keraguan itu. "Picah ko" Ka Kobus membungkuk melihat rekan-rekan kerjanya menggulingkan batu dari gardan pick up. "Tuhan pasti tolong" Suara motivasi pembakar semangat dari belakang entah muridku yang mengucapkan atau siapapun itu yang pasti Tuhan tolong. "Aman." Jawab salah seorang yang membantu menggulingkan batu yang mengena di gardan mobil.Â
Sementara mobil pickup kami diperbaiki di cek bagian-bagian yang dicurigai maka kami guru-guru dan anak-anak didik mencari tempat untuk makan. Anak-anak menikmati makanan mereka sementara Kakak-kakak sopir serius memperbaiki pick up Ka Kobus.Â
Setelah dinyatakan beres dan tak ada masalah dengan pick up maka kami kembali ke pick up masing-masing dan melanjutkan perjalanan. Selesai sudah tantangan yang berhadapan dengan sungai-sungai yang berbatu dan jalanan berbatu. Anak-anak sekarang menikmati perjalanan dengan nyanyian tanpa iringan gitar untuk mengusir kebosanan. Aku pun termasuk di dalamnya. Memasuki jalan Timor Raya anak-anak semakin kencang mengeluarkan suaranya berdendang dengan suara parau pun tak jadi masalah bagi mereka, sementara anak-anak lainnya sudah tertidur.Â
Masuk kembali ke jalur Amarasi tinggal 20 menit lagi sampai di tempat tujuan. Anak-anak yang tadinya terlelap sekarang wajahnya berubah dengan rasa kuatir. "Ingat peran masing-masing. Jangan sia-siakan kesempatan yang diberikan. Wajah Amfoang Barat Laut ada diwajah kalian!" Motivasi menumbuhkan keberanian mengusir ketakutan. "Mereka sama dengan kita, sama-sama makan nasi, sama-sama belajar dari buku yang sama yang berbeda itu hanya ada pada jalan cerita yang kita alami." Kembali ku beri semangat.Â
Setibanya di lokasi lomba saya selaku ketua tim melaporkan diri dan semua rekan-rekan guru pendamping dan anak-anak murid cekatan menurunkan barang bawaan. Ada yang langsung merapikan tata letak pagelaran karya, ada yang menuju ruang istirahat sementara saya masih lapor diri dan mengambil nomor undian lomba.Â
No 5 untuk tari kreasi, nomor 37 untuk debat bahasa Indonesia, nomor 7 untuk debat bahasa Inggris, nomor 28 untuk melukis dan nomor 6 untuk drama monolog.Â
"Bunda beta takut." Setelah nomor undian ku berikan pada anak didik peserta lomba monolog. "Secercah harapan itu tidak akan berubah menjadi kenyataan jika itu hanya sekedar harapan." Kukuatkan anak didikku dengan motivasi pamungkas untuk negeri.Â
"Ingat mereka sama dengan kita, lawan mu itu adalah kawan dan sahabatmu. Jangan takut." Kembali aku memberikan dukungan sementara anak didikku mempersiapkan diri menunggu giliran untuk pentas monolog secercah harapan yang akan dibawakannya.Â