Mohon tunggu...
Walentina Waluyanti
Walentina Waluyanti Mohon Tunggu... Penulis - Menulis dan berani mempertanggungjawabkan tulisan adalah kehormatan.

Penulis. Bermukim di Belanda. Website: Walentina Waluyanti ~~~~ Email: walentina.waluyanti@upcmail.nl ~~~ Youtube channel: Kiki's Mom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Salah Kaprah tentang Menjadi Diri Sendiri dalam Membangun Personal Branding di Media Sosial

13 Juni 2021   10:42 Diperbarui: 14 Juni 2021   02:22 1905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Representasi otentik dalam membangun personal branding adalah menjadi diri sendiri. Dengan menjadi diri sendiri, bahkan Anda seharusnya tidak mengkreasi personal branding. Karena dengan menjadi diri sendiri, maka personal branding itu sudah ada dengan sendirinya.

Hal di atas ditekankan oleh Eitan Chitayat, brand builder, CEO, founder dan creative director dari The International Natie Branding Agency:

"Apapun yang Anda sajikan, pastikan itu adalah diri Anda yang sebenarnya."

Setiap orang adalah pribadi yang unik. Setiap orang punya keotentikannya masing-masing. Ini digambarkan dengan tepat oleh Oscar Wilde, dramawan, novelis, penyair asal Irlandia, "Jadilah dirimu sendiri, karena  kepribadian orang lain sudah ada pemiliknya."

Tidak perlu meniru kepribadian orang lain, kepribadian sendiri bisa menjadi potensi yang bisa dimanfaatkan sebagai personal branding dalam bermedia sosial.

Jika Anda bukan seorang yang humoris, jangan memaksakan melucu ketika mempresentasikan sesuatu di media sosial. Sampaikan sesuatu sesuai dengan kepribadian Anda sebenarnya. Inilah yang dimaksud dengan "jadilah diri sendiri" di media sosial.

Selanjutnya dikatakan oleh Eitan Chitayat: 

"Personal brand membutuhkan representasi otentik tentang siapa Anda sesungguhnya, bukan peran yang Anda mainkan. Tidak dibuat-buat. Anda harus membangun personal branding berdasarkan siapa Anda yang sebenarnya."

"Menjadi Diri Sendiri" di Medsos Berdampak Merugikan? 

Pilihan menjadi diri sendiri di media sosial dalam membangun personal branding kadang menimbulkan salah kaprah, dipandang sebagai bukan pilihan bijak. 

Menjadi diri sendiri di media sosial, ada yang mengartikan sebagai ceroboh, tidak pandai menjaga privacy, segalanya dijadikan objek "share".

Harus dibedakan antara "menjadi diri sendiri" dan "menjadi orang yang naif". Kedua hal ini jelas adalah dua hal yang berbeda. Menjadi diri sendiri di media sosial tidak harus diartikan sebagai pilihan yang naif dan ceroboh. 

Tidak berarti bahwa menjadi diri sendiri di media sosial, artinya Anda harus mengobral segala informasi dan hal privacy. Anda bisa menjadi diri sendiri di media sosial tanpa mengurangi kewaspadaan. 

Maraknya media sosial membawa pergeseran, yaitu locus delicti (tempat terjadinya tindak pidana) sekarang sudah merambah ke ruang lain. 

Kini locus delicti kejahatan sudah merambah ke media sosial. Mau tidak mau, tuntutan zaman memaksa orang untuk harus bisa dan harus mau menyesuaikan dengan pergeseran ini.

Media sosial dalam konteks kekinian, sudah menjadi bagian dari perangkat berkomunikasi yang ada di dunia nyata. Dengan segala risiko yang ada, kini penggunaan media sosial sudah nyaris tak terhindarkan. Perkembangan zaman membuat orang sulit untuk tidak ikut terjun ke media sosial.

Ada alasan bahwa orang lebih suka untuk tidak menjadi diri sendiri di media sosial, antara lain perlindungan diri terhadap kejahatan siber atau khawatir terhadap penipuan. 

Jangan lupa, orang lain pun berharap sama ketika berinteraksi dengan Anda di sosial media. Ini artinya, mereka berharap berhadapan dengan orang yang nyata sebagaimana adanya.

Faktanya dunia maya dikendalikan oleh segala yang nyata adanya. Bahkan jika hasilnya adalah dunia fiksi, orang tetap ingin tahu seperti apa sebenarnya orang yang telah menciptakan dunia fiksi itu.

Apakah orang yang tidak menjadi diri sendiri di media sosial bisa lolos dari penipuan? Tidak otomatis begitu. Penipu bekerja dalam banyak cara, bukan hanya menawarkan keuntungan, akan tetapi juga menawarkan peluang dengan cara yang masuk akal. Sehingga orang percaya peluang itu bisa mendatangkan keuntungan. Dan siapapun yang terpancing dengan peluang itu bisa menjadi korbannya. Baik yang menjadi diri sendiri, maupun yang tidak menjadi diri sendiri di media sosial.

Justru dengan menjadi diri sendiri dalam bermedia sosial, membuat orang menjadi ekstra berhati-hati, karena sadar taruhannya adalah reputasi. Sekali salah melangkah, maka ini sama dengan menghancurkan reputasi sendiri.

Saya sendiri tidak berpikir tentang personal branding ketika mulai bergiat di media sosial. Saya hanya ingin menyampaikan dan menulis sesuatu yang mungkin saja ada manfaatnya dengan didukung data.

Yang tidak saya sangka, melalui website, saya pernah menerima pesan dari Kompas TV yang ingin bertamu dan melakukan peliputan di rumah saya. 

Ketika itu Kompas TV melakukan tour ke Eropa dalam program berjudul "Nasionalisme Rasa" (2014).

Foto: Kompas TV meliput di rumah penulis. (Dokumen pribadi)
Foto: Kompas TV meliput di rumah penulis. (Dokumen pribadi)

Saat itu saya diwawancarai oleh pembawa acaranya, aktor Ramon Y. Tungka. Ada beberapa orang yang diwawancarai dalam program ini, di antaranya Retno Marsudi (mantan Dubes RI untuk Belanda ketika itu), August Parengkuan (almarhum, mantan wartawan Kompas dan mantan Dubes RI untuk Italia).

Sekali orang terjun ke media sosial, ia harus siap menerima konsekuensi, ada risiko yang harus ditanggung, dan harus bisa mengantisipasinya. 

Apakah Anda memilih menjadi diri sendiri, atau memilih tidak menjadi diri sendiri, kedua pilihan ini tetap saja ada risikonya. Bukankah ini berlaku juga untuk segala hal dalam kehidupan? Semua pilihan tidak terlepas dari risiko.

Bahkan jika seseorang memilih tidak aktif di media sosial pun, ia tetap tidak akan terlepas dari tren dan isu-isu yang bergulir di media sosial, yang akhirnya bisa mempengaruhi pengambilan keputusan di kehidupan nyata.

"Aku" dan Personal Branding

Tom J. Peters adalah peletak dasar dari konsep personal branding. Artikelnya berjudul Be Your Own Brand (1997), kemudian menjadi dasar munculnya istilah personal branding. 

Membangun personal branding ibarat melekatkan merek pada diri sendiri. "Aku" adalah merek. Orang yang memiliki passion di bidang peternakan misalnya, berharap bisa membangun personal branding yang bisa membuatnya memperoleh merek diri dengan label "spesialis peternakan".

Menurut Peters, personal branding sering disalahartikan sebagai sesuatu untuk mempromosikan diri dan menepuk dada tentang keistimewaan diri sendiri. Yang sebenarnya adalah personal branding berarti berbicara tentang apa yang Anda lakukan dan apa yang Anda tahu. Dan ini bisa disampaikan dengan menggunakan kekhasan yang ada di dalam diri.

Peters membedakan antara berbicara tentang "Aku" dan personal branding. Menurut Peters, berbicara tentang "Aku", termasuk dalam kategori kebebasan berpendapat. Tetapi personal branding adalah tentang bagaimana orang lain melihat Anda. Dan orang ingin melihat sesuatu yang otentik dari diri Anda. Tentu saja ini tidak berarti bahwa personal brand itu harus disukai oleh semua orang.

Menjadi diri sendiri dalam membangun personal branding tidak berarti harus diterjemahkan sebagai orang yang berbicara tentang "Aku" dengan mengorbankan privacy.

Satu hal yang jelas, dengan menjadi diri sendiri, Anda sudah menampilkan sesuatu yang otentik. Anda mempunyai sesuatu yang otentik dengan keprbadian Anda? Punya ketulusan dan integritas?  Memiliki passion dalam bidang tertentu untuk disampaikan di media sosial? Selamat! Ini menunjukkan Anda telah memiliki personal branding.

Pada akhirnya nilai universal akan tetap berlaku di mana saja, termasuk juga di media sosial. Orang selalu mencari sesuatu yang otentik, ketulusan dan integritas. ***

(Penulis: Walentina Waluyanti)

Sumber: 

  1. Academy for recruitment  
  2. Inc.com
  3. Linkedin.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun