"Kau yang apa-apaan. Jam sekolah kok tidur pulas."
"Apa? Aku tidur?"Â
"Iya, sejak pelajaran seni selesai. Kau kan memang mencintai seni dan keindahannya, hingga lupa matematika yang mengancam kehidupan akademikmu di akhir semester nanti."
Astaga. Selama itukah aku tidur? Jadi, lukisan indah yang dibayar 3 juta itu hanya sekadar mimpi disiang hari? Di sekolah ini?
Saat bel pulang berbunyi, segera aku pulang ke rumah, mengecek apakah masih ada kain kasa dan peralatan lukis lainnya.
"Ayah, kemana kain kasa dan peralatan lukis aku?"
"Sejak kapan kamu punya kain kasa dan peralatan lukis? Pensil warna saja tak terbeli."
Benar juga. Aku tidak punya pensil warna, seperti yang aku beli menggunakan uang infaq.
Jadi, semua cerita indah itu hanya mimpi?
Ah, sudahlah, memang benar, orang miskin seperi kami hanya boleh bermimpi. Untuk mewujudkannya, tunggu saja Dendi menjadi presiden. Siapa tahu dia masih ingat aku nanti.
End.