Mohon tunggu...
Ega Wahyu P
Ega Wahyu P Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Seorang pengelana dari negeri Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pensil Warna Abay: Kebaikan yang Dikhianati

25 September 2022   11:04 Diperbarui: 25 September 2022   11:05 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tiba di sekolah 5 menit setelah bel berbunyi. Beberapa kelas terlihat sepi, kantor guru apalagi. Guru disini paling malas jika hujan menderu di pagi hari. Pasti mereka datang terlambat, tak mau berusaha menggunakan mantel atau payung elektronik, atau apalah jenisnya untuk tiba tepat waktu.

Ubin putih terlihat kusam. Air terlihat menggenang di ujung selasar. Tandas sekolah sepertinya sumbat, air tumpah hingga ke kelas 7A. Para siswa senang saja, bermain dan berlari, seperti anak SD yang dibasahi hujan saat jam pelajaran.

Setengah jam berlalu, terlihat guru-guru mulai berdatangan. Satu dua guru masih menggunakan mantel, selebihnya menikmati rerintikan hujan yang manja. 10 menit lalu hujan mulai bersahabat, hanya tangisan langit yang masih tersedu-sedu.

Baca juga: Pensil Warna Abay

"Mulai sekarang, biar aku saja yang mengumpulkan dana infaq sekolah."

"Nah, begitu dong. Dari kemarin diminta jadi petugas infaq tak mau." ucap Verdi, petugas infaq sebelumnya.

Di sekolah ini, siswa membantu guru menarik uang infaq setiap angkatan. Verdi ditunjuk secara paksa oleh ketua OSIS, yang sebenarnya menunjuk aku. Tapi saat itu, aku berkeras menolak, karena tidak setuju dengan adanya infaq ini. Pun demikian sekarang, aku masih tetap pada pendirian untuk tidak menyetujui kebijakan gila tersebut. Tetapi aku punya rencana lain.

Saat hari Selasa tiba, aku mulai bertugas mengambil uang infaq disetiap kelas. Dari kelas 8A hingga 8G, total uang yang didapat sekitar 350 ribu. Lumayan juga. Maklum saja, anak pejabat dan pegawai negeri banyak belajar disini, dan tak semuanya berinfaq karena ikhlas, melainkan karena gengsi. Saling berlomba siapa yang memberi infaq paling banyak diantara mereka.

Uang itu disimpan oleh siswa, yang nantinya diserahkan ketika sebulan berjalan. Dari kas lama yang dipegang oleh Verdi, sudah ada 800 ribu. Ditambah 350 hasil infaq hari ini, tentu saja itu lebih dari cukup untuk membeli pensil warna.

Sepulang sekolah aku singgah ke toko peralatan sekolah. Disana aku membeli berbagai peralatan mewarnai, baru kali ini aku merasakan sensasi belanja tanpa melihat harga. Aku yakin saja uang yang ada sekarang akan cukup membeli pensil warna, krayon dan paket melukis keluaran terbaru lengkap dengan kain kasa.

Derap langkah kakiku laju melintasi gedung-gedung pencakar langit, walaupun langit tak pernah merasakan cakarannya. Anak-anak yang bermain bola, bapak-bapak yang sedang minum kopi atau para ibu yang merumpi di pojok komplek tak aku hiraukan. Segera saja aku melintasi dunia ini menuju dunia paling indah sejagat alam. Dunia seni tiada batasan ruang dan waktu.

Gemuruh di langit kembali terdengar. Sepertinya awan hitam kembali berpatroli di sore ini, menemani tangisan langit mendung yang mulai jatuh ke atap rumah. Disaat yang sama, jam telah menunjukkan pukul 17 sore. Aku telah menghabiskan 4 jam lamanya di kamar, sendiri dan masuk dalam mahligai cinta bersama peralatan seni. Semua isi buku gambar telah aku warnai, sekarang aku mulai beranjak dalam dunia lukis di atas kain kasa.

"Abay, kamu dapat uang dari mana?"

Ayah tiba-tiba masuk ke kamar ku. Ia kaget setengah hari, wajar saja, keluarga miskin seperti kami tidak mungkin bisa membeli peralatan melukis sebagus ini, banyak lagi.

"Aku pinjam dari sekolah, yah."

"Memangnya bisa, ya?"

"Bisa saja, asal kita pandai meyakinkan sekolah."

"Terus kamu mau bayar utangnya pake apa?"

Belum selesai pertanyaan ayah, seseorang dibalik pintu memberikan salam.

"Assalamualaikum."

Ayah bergegas membuka pintu.

"Waalaikumussalam. Ada apa ya, pak?" Ayah bertanya kepada tamu.

"Ini rumah Abay?"

"Iya benar, saya Ayahnya."

"Abay dimana ya pak?"

Aku mendengar suara yang tidak asing langsung bergegas menghampiri. Benar saja, itu adalah pak Rahmad, pakai huruf D. Aku bertemu dengannya dua hari lepas di salah satu persimpangan jalan menuju sekolah.

"Oh pak Rahmad. Masuk pak." Aku mempersilakannya masuk.

Ayah kembali ke pertapaannya, membiarkan aku dan pak Rahmad di ruang tamu.

"Sudah jadi?" Pak Rahmad memulai obrolan.

"Sudah pak, sekitar 20 menit yang lalu. Sebentar saya ambil."

Aku kembali ke kamar, mengambil lukisan yang telah jadi.

"Wah bagus juga ya. Ini maharnya. Terima kasih ya. Saya mau lanjut dulu."

"Sama-sama pak Rahmad. Terima kasih juga ya."

"Assalamualaikum" Pak Rahmad pamit hendak pulang.

"Waalaikumussalam." jawabku.

Ayah kembali menemuiku yang sedang menghitung uang. Banyak dan berserak di atas meja.

"Abay, itu siapa? Dan uang ini...?" Ayah sepertinya kebingungan.

"Begini ayah. Aku bertemu pak Rahmad dua hari lalu di simpang jalan menuju sekolah. Dia melihat hasil gambarku, dan menyukainya. Ia bermaksud memesan gambar, tetapi dalam versi lukisan. Aku sepakat dan menyetujuinya, dengan janji diambil hari ini. Ia membayar sebesar 3 juta rupiah. Setelah ini, aku akan kembalikan uang ke sekolah, dan sisanya untuk berobat ibu juga modalku untuk melukis lagi."

"Alhamdulilah Abay. Ternyata kamu berbakat, nak." Ayah membendung air matanya yang akan tumpah ruah.

"Ayah, sebenarnya setiap anak itu berbakat. Namun keadaan dan lingkungan mengkerdilkan mimpi-mimpi mereka, sehingga asa kehidupan telah redup, nyala api perjuangan telah padam dan harapan telah pupus. Padahal, peluang bahagia setiap orang adalah sama. Hanya jalan dan jarak tempuhnya saja terkadang berbeda, atau bahkan sangat berbeda."

"Apapun yang kau ucapkan itu, ayah bangga padamu, nak."

Sejak saat itu, aku bertekad untuk menjadi pelukis handal, yang mewarnai kehidupan dengan warna-warna yang ada di kain kasa. Besok, aku akan kembalikan uang ini ke Verdi, meminta ia memegang kembali uang infaq sekolah.

=====

Kicauan burung-burung terdengar nyaring, begitupun suara kodok yang bersaut-sautan di tepi kolam. Dendi menyiram air ke wajah ku. Aku terbangun, merasakan pusing ringan. Bumi serasa berputar, kesiur angin perlahan mengatupkan mataku kembali. Tetapi siraman air datang menimpuk wajahku untuk kedua kalinya.

"Apa-apaan ini?" Aku bertanya kepada Dendi.

"Kau yang apa-apaan. Jam sekolah kok tidur pulas."

"Apa? Aku tidur?" 

"Iya, sejak pelajaran seni selesai. Kau kan memang mencintai seni dan keindahannya, hingga lupa matematika yang mengancam kehidupan akademikmu di akhir semester nanti."

Astaga. Selama itukah aku tidur? Jadi, lukisan indah yang dibayar 3 juta itu hanya sekadar mimpi disiang hari? Di sekolah ini?

Saat bel pulang berbunyi, segera aku pulang ke rumah, mengecek apakah masih ada kain kasa dan peralatan lukis lainnya.

"Ayah, kemana kain kasa dan peralatan lukis aku?"

"Sejak kapan kamu punya kain kasa dan peralatan lukis? Pensil warna saja tak terbeli."

Benar juga. Aku tidak punya pensil warna, seperti yang aku beli menggunakan uang infaq.

Jadi, semua cerita indah itu hanya mimpi?

Ah, sudahlah, memang benar, orang miskin seperi kami hanya boleh bermimpi. Untuk mewujudkannya, tunggu saja Dendi menjadi presiden. Siapa tahu dia masih ingat aku nanti.

End.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun