"Waalaikumussalam." jawabku.
Ayah kembali menemuiku yang sedang menghitung uang. Banyak dan berserak di atas meja.
"Abay, itu siapa? Dan uang ini...?" Ayah sepertinya kebingungan.
"Begini ayah. Aku bertemu pak Rahmad dua hari lalu di simpang jalan menuju sekolah. Dia melihat hasil gambarku, dan menyukainya. Ia bermaksud memesan gambar, tetapi dalam versi lukisan. Aku sepakat dan menyetujuinya, dengan janji diambil hari ini. Ia membayar sebesar 3 juta rupiah. Setelah ini, aku akan kembalikan uang ke sekolah, dan sisanya untuk berobat ibu juga modalku untuk melukis lagi."
"Alhamdulilah Abay. Ternyata kamu berbakat, nak." Ayah membendung air matanya yang akan tumpah ruah.
"Ayah, sebenarnya setiap anak itu berbakat. Namun keadaan dan lingkungan mengkerdilkan mimpi-mimpi mereka, sehingga asa kehidupan telah redup, nyala api perjuangan telah padam dan harapan telah pupus. Padahal, peluang bahagia setiap orang adalah sama. Hanya jalan dan jarak tempuhnya saja terkadang berbeda, atau bahkan sangat berbeda."
"Apapun yang kau ucapkan itu, ayah bangga padamu, nak."
Sejak saat itu, aku bertekad untuk menjadi pelukis handal, yang mewarnai kehidupan dengan warna-warna yang ada di kain kasa. Besok, aku akan kembalikan uang ini ke Verdi, meminta ia memegang kembali uang infaq sekolah.
=====
Kicauan burung-burung terdengar nyaring, begitupun suara kodok yang bersaut-sautan di tepi kolam. Dendi menyiram air ke wajah ku. Aku terbangun, merasakan pusing ringan. Bumi serasa berputar, kesiur angin perlahan mengatupkan mataku kembali. Tetapi siraman air datang menimpuk wajahku untuk kedua kalinya.
"Apa-apaan ini?" Aku bertanya kepada Dendi.