Mohon tunggu...
wahyu mada
wahyu mada Mohon Tunggu... Penulis - Pemuda dari Nganjuk yang ingin memandang dunia dari berbagai sudut pandang

Sejarah dadi piranti kanggo moco owah gingsire jaman (KRT Bambang Hadipuro)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Toleransi dari Sejarah: Hubungan Antar Umat Beragama Pra dan Paska Didirikannya GPT Kristus Penolong

22 September 2021   15:01 Diperbarui: 22 September 2021   16:04 1207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Sukoco (Ketua RW III)

Pada beberapa dekade terakhir ini telah banyak terjadi penilaian buruk terhadap salah satu umat beragama di Indonesia sebagai umat yang radikal, subjektif dalam memandang kebenaran, dan tidak toleran. Hal ini banyak bersebaran di berbagai media sosial, hingga yang paling parah adalah penghinaan yang diajukan kepada beberapa tokoh agama oleh masyarakat kita. 

Selain itu juga telah banyak konflik antarumat beragama yang menjadi peristiwa kelam bagi bangsa ini yang bahkan terlalu berat untuk dapat disebutkan secara rinci. Kecenderungan terjadinya konflik, perang, dan terorisme tidak saja disebabkan oleh agama, tetapi oleh masalah sosio-ekonomi, politik diantara kelompok agama (Yunus, 2014: 218). Sebagai masyarakat Indonesia, tentunya sudah menjadi kewajiban bagi masyarakatnya untuk mengetahui latar belakang dari bangsa ini. 

Perbedaan agama seharusnya tidak menjadi masalah dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara. Sebagai masyarakat multikulturalis tentunya kita saling melengkapi kekurangan masing-masing, baik yang mayoritas membutuhkan bantuan minoritas untuk bantuan moril atau jasa, demikian juga pihak minoritas membutuhkan bantuan perlindungan dari pihak mayoritas.

 Sosiologi sebagai ilmu sekiranya dapat memberikan gambaran tentang hubungan ini. Kingsley Davis, seorang penganut teori fungsional, menyatakan bahwa berbagai obyek yang disakralkan, termasuk agama, bukan sekedar menyimboli masyarakat tertentu tapi juga menyimboli dunia yang tidak terlihat (invisible world) yang memberi pelaku sumber dan pembenaran terakhir bagi tujuan kelompok yaitu tujuan-tujuan bersama dengan kelompok lain dalam kehidupan bermasyarakat (Latif, 2012: 101). Menindaklanjuti hal itu, maka toleransi perlu ditekankan oleh masyarakat agar dapat tercapainya kehidupan dunia yang harmonis.

Asal nama toleransi berasal dari bahasa Latin "tolerare" yang memiliki arti sabar terhadap sesuatu. Toleransi dapat dimaknai sebagai cara pandang dan perilaku seseorang dalam menghormati dan menghargai orang lain. Toleransi memang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, utamanya dalam kehidupan kita sebagai warga negara yang banyak memiliki perbedaan, baik di kota maupun di kampung-kampung kecil.

 Istilah toleransi dalam konteks budaya dan agama berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap golongan yang berbeda dalam suatu masyarakat, seperti toleransi dalam beragama, di mana kelompok agama yang mayoritas dalam suatu masyarakat, memberikan tempat bagi kelompok agama lain untuk hidup di lingkungannya (Bakar, 2015: 123).

Toleransi yang terjalin di Kelurahan Kedondong cukup baik. Hubungan antarumat beragama di kelurahan ini mulai muncul pada tahun 1977, dimana saat itu mulai dibangunnya sebuah rumah ibadah bagi masyarakat Kristen di kelurahan ini, sehingga meningkatkan jumlah jemaat. Selain itu memang sebelumnya kelurahan ini hanya diisi oleh masyarakat Islam saja, namun memiliki pandangan yang berbeda. Paska peristiwa tersebut masyarakat Kelurahan Kedondong menjadi masyarakat yang multikulturalis karena yang awalnya hanya terdapat satu agama menjadi dua agama, yaitu: Islam dan Kristen.

Permasalahan yang diangkat disini adalah mengapa hubungan antarumat beragama (Islam dan Kristen) di Kelurahan Kedondong dapat berlangsung dengan baik?

Toleransi Pra-Pendirian Gereja

Cikal bakal agama Kristen di Kelurahan Kedondong berawal dari kedatangan Bapak Pendeta Peterus Denny Hendro. Masyarakat Kelurahan Kedondong tidak mempermasalahkan beliau dan justru malah antusias. Pada akhirnya ada seorang pria bernama Bapak Suradji yang mengirimkan surat kepada Bapak Pendeta Peterus Denny Hendro agar diadakannya doa-doa keselamatan dan bimbingan Yesus Kristus di kediamannya yang kemudian beliau menjadi salah satu jemaatnya. Dikirimnya surat ini bukan tanpa alasan, melainkan ada alasan yang menarik, yaitu sering adanya penyakit yang menimpa keluarga Bapak Suradji dan juga demi mempertebal keimanan dalam ketuhanan dalam dirinya dan keluarganya.

Demi menindaklanjuti surat yang dikirim oleh Bapak Suradji, maka sesudahnya adalah meminta tanda tangan dari masyarakat setempat, apakah setuju jika diadakannya doa-doa keselamatan atau ibadah yang terletak di rumah Bapak Suradji atau tidak. 

Masyarakat sekitar menerimannya dan tidak keberatan jika ada kegiatan ibadah disekitar lingkungan mereka, tercatat dalam dokumen arsip ada sekitar 10 kepala keluarga yang menandatangani persetujuan pendirian rumah ibadah. Hal ini berdasarkan arsip yang masih disimpan oleh Bapak Pendeta Yohanes Husodo (putra Bapak Pendeta Peterus Denny Hendro) tanggal 10 Juni 1977. Selang waktu 15 hari berikutnya, Bapak Pendeta Peterus Denny Hendro mengirimkan surat kepada Bapak Mulyono, yaitu lurah yang menjabat pada masa itu untuk didirikannya rumah ibadah di Desa Kedondong (pada saat itu belum menjadi kelurahan) pada tanggal 25 Juni 1977.

 Bapak Mulyono menyetujuinnya pendirian rumah ibadah ini. Rumah ibadah pada masa awal ini sifatnya tidak menetap karena hanya sementara terletak di kediaman Bapak Suradji. Baru tanggal 14 November 1978 resmi diadakannya kegiatan kebaktian, menurut penuturan Bapak Pendeta Yohanes Husodo. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa rumah Bapak Suradji tidak selamanya akan menjadi tempat diadakannya kegiatan kebaktian. Oleh karena itu atas permintaan masyarakat setempat dibangunlah gereja pada 1 Januari 1979 yang bernama Gereja Pantekosta Tabernakel Kristus Penolong Kelurahan Kedondong.

Berdasarkan penuturan Bapak Pendeta Yohanes, masyarakat Kelurahan Kedondong ini memiliki sifat yang terbuka, bahkan sebelum pendirian gereja tahun 1977. Mereka memiliki jiwa kebersamaan, toleransi, dan gotong royong dalam diri mereka. Demikian halnya yang dikatakan Bapak Sukoco, seorang Ketua RW III sekaligus saksi peristiwa sejarah ini mengatakan bahwa sejak beliau masih kecil masyarakat Kelurahan Kedondong menerima perbedaan yang datang dengan lapang dada dan tidak mempermasalahkannya, asalkan sesuatu yang hadir di Kedondong itu hal baik maka akan diterima masyarakat dengan lapang dada, tutur pria kelahiran tahun 1966 itu. 

Memang jika dilihat dari letak geografis, keberadaan gereja saat ini terletak ditengah-tengah pemukiman masyarakat Kelurahan Kedondong, bahkan saat ini sudah diapit oleh 3 musholla yang hanya berjarak beberapa meter saja. Selain itu, sifat terbuka dan toleransi juga ditunjukkan oleh beberapa hal yang telah disebutkan diatas, yaitu tidak keberatan akan didirikannya rumah ibadah disekitar tempat tinggal mereka, bahkan lurah saat itu juga menyetujuinnya dengan lapang dada. Ternyata dengan keterbukaan sifat masyarakat Desa Kedondong ini dapat mempermudah urusan duniawi kedepannya dan memiliki keharmonisan hidup sosial-masyarakat, utamanya dalam menjalin hubungan antar tetangga.

Sepanjang penulisan tulisan ini, sekiranya sangat cocok bila dilihat dari teori besar sosiologi, yaitu fungsionalisme struktural. Masyarakat harus mengatur hubungan saling ketergantungan diantara komponen-komponennya supaya bisa berfungsi secara maksimal (Raho, 2021: 74). Dalam studi kasus masyarakat Kelurahan Kedondong memang ada kaitan ketergantungan ini, contohnya seperti: masyarakat Kristen tidak bisa hidup tanpa masyarakat Islam karena mereka butuh perlindungan dan bantuan dari masyarakat Muslim yang lebih banyak jumlahnya dan masyarakat Islam mendapatkan imbalannya berupa bantuan material dan tenaga untuk berbagai kegiatan. 

Selain itu masyarakat Kristen juga turut membantu masuknya listrik di Desa Kedondong (sebelum menjadi kelurahan) yang juga digunakan untuk penerangan umat Islam di kelurahan ini juga. Apabila satu sistem ada yang tidak berjalan dengan baik, maka akan mengganggu sistem lainnya.

Toleransi Paska Dididirikannya Gereja

Rumah ibadah selesai dikerjakan dan umat Kristen dapat dengan bebas beribadah dan berdoa di gereja tanpa takut akan adanya ancaman dari pihak luar. Pada masa-masa ini saya kira belum muncul peristiwa unik dan menarik yang dapat dibahas menurut periode waktu atau tahunnya. Tapi memang paska didirikannya gereja ini kehidupan umat beragama di Kelurahan Kedondong memiliki pola peristiwa yang sama atau mirip hingga sampai nanti tahun 2020 ada sedikit halangan mengenai keharmonisan ini, yaitu awal-awal pandemi Covid-19 di Indonesia. 

Pola yang dimaksud disini adalah pola peristiwa hidup yang harmonis antarumat beragama. Dibawah ini akan dibahas mengenai kehidupan harmonis umat beragama di Kedondong tahun 1979 -- 2020, karena memiliki pola peristiwa yang sama setiap tahunnya, maka tidak dibuat menjadi bab-bab peristiwa khusus yang penting, kecuali tahun 2017 dan 2020.

Keharmonisan antarumat beragama ini didukung sendiri oleh masyarakat Kelurahan Kedondong sendiri, bukan hanya masyarakat biasa saja, melainkan juga didukung oleh pemerintah kelurahan setempat. Pandangan kehidupan masyarakat yang harmonis didorong oleh faktor internal, khususnya bagi umat Kristiani. Menurut penjabaran Bapak Yohanes, bahwa faktor dari dalam diri masyarakat Kristen menurutnya yang menjadikan sikap mereka terbuka karena Firman Tuhan.

Firman Tuhan bukan hanya didengar saja, namun harus diterapkan dan hal ini yang akan mendorong masyarakat memiliki empati dan simpati antarumat beragama

Itulah ungkapan bapak pendeta yang menggantikan pengabdian ayahnya pada Februari 2003 itu. Pedoman hidup masyarakat Kristen Kelurahan Kedondong seperti yang diungkapkan Bapak Pendeta Yohanes tadi sepertinya cukup melengkapi sumber arsip yang memperlihatkan orang-orang tua (sepuh) yang masih semangat beribadah ke gereja, walaupun mereka tahu fisik mereka untuk hadir ke gereja sudah tidak seperti zaman muda dulu. Harusnya inilah pelajaran bagi orang-orang muda secara umum, jangan mau kalah dari orang tua dalam semangat menggapai kehidupan akhirat yang lebih baik. 

Toleransi yang dilakukan umat Kristen untuk menghormati umat Islam, seperti: pada saat lebaran masyarakat Kristen berkunjung ke tetangga Muslim, saat Ramadan dimana masyarakat Kristen menyediakan takjil berbuka puasa di mushalla untuk masyarakat Muslim secara sukarela, bahkan saat tradisi Jawa yang sudah diberi nilai Islam, seperti tradisi slametan masyarakat Kristen yang diundang dengan senang hati menghadiri acara tersebut. Menurut beliau sendiri juga masyarakat kelurahan ini dapat memfilter pengaruh asing yang masuk ke dalam kelurahan yang mungkin dapat memecah keharmonisan antarumat beragama. 

Hal imi juga didukung oleh upaya yang diberikan Bapak Pendeta Yohanes selama ini adalah berupa pembinaan saat jemaat beribadah di gereja. Selain dalam ranah bidang keagamaan, hubungan erat antaraumat seakan tidak ada sekat karena dimanapun dan kapanpun masyarakat dengan 2 latar belakang berbeda ini dimintai pertolongan, maka dengan senang hati mereka akan membantu. Pihak gereja juga turut memberikan bantuan kepada kelurahan, utamanya saat awal mula listrik masuk Desa Kedondong (saat itu belum menjadi kelurahan).

Tokoh masyarakat Islam Kelurahan Kedondong, yaitu Bapak Sugiono memberikan pandangan yang hampir sama seperti Bapak Pendeta Yohanes. Menurutnya kehidupan masyarakat Kedondong yang harmonis didasarkan pada sifat masyarakat kelurahan itu sendiri. Sifat dasar yang dimiliki oleh masyarakat kelurahan yaitu sangat terbuka dan hal ini menurut beliau dibuktikan dengan memiliki sikap toleransi yang tinggi, saling menghormati, dan yang paling penting tidak pernah adanya konflik diantara umat beragama di Kelurahan Kedondong. 

Sifat keterbukaan ini yang membuat masyarakat kelurahan dapat saling memahami satu sama lain. Masyarakat Kelurahan Kedondong juga masyarakat yang tidak mudah terpengaruh oleh pengaruh asing, walaupun hal itu berasal dari media sosial yang sangat banyak memengaruhi kehidupan masyarakat kota. Catatan yang penting dari beliau, yaitu saat beliau berkata:

Harmonis 80%-90% dapat dicapai jika memahami aturan agama yang dipeluknya, syariat agama dijalankan dengan benar maka harmonis akan datang sendiri

Menurut beliau selain faktor internal (keterbukaan) juga ada faktor dari luar seperti kajian dan ceramah dari kyai atau santri yang sengaja diundang oleh pihak masjid kelurahan, utamanya Masjid Baiturrahman untuk masyarakat yang Muslim sejak tahun 2010. Dalam urusan kehidupan bermasyarakat toleransi merupakan hal yang sangat diutamakan. Contohnya seperti yang dilakukan tokoh masyarakat Muslim, seperti: saling silaturahim dan sering berrcakap-cakap supaya tidak ada ketersinggungan satu diantara yang lain. Insha Allah dengan kita berupaya menghormati dia agama lain, dia yang mempunyai keinginan lain tidak akan membuat kerusuhan di dalam segi dakwah kita, begitulah yang diungkapan Bapak Sugiono.

Fakta di lapangan adalah memang benar yang dikatakan Bapak Sugiono dan sangat dekat dengan objektivitas, karena memang acara syukuran yang dapat dikatakan salah satu acara perkumpulan masyarakat Kedondong yang terbesar. Umat Muslim dibacakan doa-doa oleh tokoh agama, termasuk Bapak Sugiono sendiri dan masyarakat yang non-Muslim (Kristen) juga mengikuti acara itu, namun tetap berdoa pada imannya masing-masing.

Menindaklanjuti kalimat diatas tadi, bahwa pola peristiwa pada tahun 1979 hingga 2020 itu sama, namun yang membedakan adalah peristiwa tahun 2017 dan 2020. Peristiwa tahun 2017 adalah suatu peristiwa yang unik dan menarik untuk dikaji. Pasalnya pada tahun itu terdapat renovasi gereja, utamanya bagian tembok atas dan atap gereja. 

Lantas, apakah yang membedakannya dengan renovasi gereja lainnya?, bukankah hal ini wajar demi kebaikan gereja dan jemaat?. Ternyata setelah diselidiki peristiwa renovasi gereja tahun 2017 itu dibantu oleh masyarakat Kelurahan Kedondong yang Muslim. Uniknya adalah masyarakat Muslim dengan lapang dada dan ikhlas membantu menyelesaikan renovasi gereja, tanpa meminta imbalan. Seperti yang dikatakan Bapak Isno, seorang warga yang tinggal di utara gereja.

Mulai awal ikut ya tapi kan maksud saya itu tidak sampai sore tidak. Pagi kadang habis makan siang yang lainnya pulang, yang lainnya nerus. Maksudnya Pak Yohanes yang punya gereja itu kan berapa dikasih berapa tapi tidak ada yang mau. Selain kuli tukang yang rutin itu kan pasti, tapi yang kerja bakti tidak, ikhas lilahitaalla

Dari penjelasan Bapak Isno dapat menjelaskan bahwa beliau ikhlas dalam membantu menyelesaikan renovasi gereja. Walaupun sebenarnya sudah ada tukang khusus untuk renovasi gereja, namun warga sekitar tetap tidak tega hingga akhirnya ikut menyumbangkan tenaga untuk ikut merenovasi atap dan tembok atas gereja. 

Bapak Pendeta Yohanes memang pada awalnya memiliki niat untuk memberikan imbalan kepada warga yang dengan ikhlas dating sendiri untuk ikut merenovasi, namun warga tersebut tidak ada yang mau menerima imbalan dari Bapak Pendeta Yohanes.

Pihak gereja juga begitu, mereka menggunakan tenaga lokal atau tenaga yang ada di Kelurahan Kedondong untuk merenovasi gereja. Tujuan utamannya jelas untuk menjaga keharmonisan yang telah bertahun-tahun terjalin.

Ketika membangun ini semua, baik tukang itu saya ambil dari dalam masyarakat Kedondong, Triono, terus RT, kuli-kuli juga tukang masyarakat sini kok, orang Kedondong sini. Jadi saya tidak mengambil dari luar, iya itu menjaga supaya keharmonisan tidak terganggu dan tidak menimbulkangesekan kecemburuan begitu lo, salah persepsi begitu wong disini ada tukang kok ambil luar dan saya tidak mau begitu. Kita hidup bermasyarakat disini ya potensi apa di desa itu ya kita manfaatkan, kita utamakan. Selama ini tidak pernah saya dari luar, justru mereka saya tanya kapan bisanya ini?, justru mereka lebih gampangan untuk membantu, yawe nanti gini-gini.

Setelah tahun 2017, yaitu tahun 2018 hingga 2019 nyaris tidak ada peristiwa unik yang dapat ditelisik lebih jauh mengenai toleransi antarumat beragama di Kedondong. Kita kembali lagi seperti penjelasan wal, bahwa pola peristiwa setelah renovasi gereja sama saja seperti peritiwa sebelum-sebelumnya sejak tahun 1979, namun untuk gereja sendiri terdapat perubahan. Perubahan yang terjadi di gereja adalah perubahan induk organisasi dari Gereja Pantekosta Tabernakel menjadi Gereja Tabernakel Tubuh Kristus yang masih menjadi satu-satunya di Kecamatan Bagor di tahun 2018, menurut keterangan dari Bapak Pendeta Yohanes Husodo. 

Menginjak tahun 2020, Indonesia mengalami dampak pandemic Covid-19. Dampaknya pada saat itu tentu adanya pembatasan dalam beribadah di tempat ibadah dan disarankan untuk beribadah di rumah saja. Hubungan antarumat beragama di Kelurahan Kedondong dibatasi, utamanya acara-acara keagamaan. Bapak Pendeta Yohanes yang pada tahun sebelum-sebelum 2020 memberikan takjil kepada musholla, justru pada tahun 2020 beliau tidak melaksanakan hal itu. 

Tentunya ini didasari pembatasan sosial, memang waktu itu Bapak Pendeta Yohanes berdomisili di Jombang sehingga terhambat karena adanya pembatasan ini ketika akan ke Nganjuk. Selain itu kegiatan Idul Fitri yang biasanya digunakan sebagai sarana sosial bagi umat beragama Kelurahan Kedondong juga dibatasi acarannya. Pada tahun-tahun sebelumnya bukan hanya umat Islam saja yang meramaikan lebaran, namun warga Kristen juga turut berpartisipasi.

Bapak Jiman selaku staff kelurahan mengatakan bahwa di Kelurahan Kedondong belum pernah ada laporan mengenai konflik antarumat beragama. Pihak kelurahan sendiri juga banyak membina umat Bergama di Kelurahan Kedondong, seperti contohnya saat mendapatkan undangan dari pihak gereja, musholla, atau masjid. Pihak kelurahan sendiri juga sering mengingatkan kepada masyarakat Kedondong, apabila ada suatu perbuatan yang keliru. Bapak Jiman menambahkan bahwa perlu untuk diadakan sarasehan.

Penuturan Bapak Landep sebagai staff administrasi kelurahan cukup untuk menambah dan menutup penuturan Bapak Jiman. Bapak Landep mengatakan bahwa sejak dulu memang tidak ada konflik, lalu jika ada masalah selalu pasti dimusyawarahkan baik-baik. Menurutnya kegiatan yang sepele namun mempertemukan dua umat beragama adalah arisan RT. Arisan RT bukan hanya arisan saja, namun juga sebagai forum saling bertukar pendapat antar warga. Bapak Landep lanjut menjelaskan, bahwa:

Karena apa didukung oleh pemerintah kelurahan, Pak RT, dan Pak RW saling berkoordinasi lembaga di kelurahan, Pak RT, sama Pak RW. Antarumat itu saling koordinasi saling menjaga, seingat saya yang masih berjalan sampai saat ini itu. Contohnya kemarin gereja yang ramai-ramai, dari pihak kelurahan perangkat kelurahan sama hansip, dari pihak lain BABINSA sama BHABINKAMTIBNAS itu saling berkoordinasi, saling menjagalah yang masih berjalan hingga saat ini

Upaya menjaga toleransi dan keharmonisan kehidupan beragama juga didukung oleh RT, RW, dan pihak kelurahan, Antarumat beragama saling berkoordinasi satu sama lain. Memang isu-isu perpecahan antarumat sering muncul di media sosial, namun untuk mencegah isu perpecahan itu ternyata pihak kelurahan sudah mempersiapkan strateginya, seperti yang diungkapkan oleh  Bapak Landep berikut ini:

Kalau dilihat dari media mas, karena disini sudah sering diberi pengarahan kalau ada pertemuan di kelurahan, kalau ada pertemuan RT/RW itu sama dihimbaui untuk hati-hati masalah melihat medsos, janagn diterima apa adanya. Kalau ada apa-apa Pak RT diberi pengarahan oleh pihak kelurahan untuk mejaga jangan sampai cepat diterima

Simpulan

Berdasarkan penjelasan diatas, maka secara garis besar atau secara inti dapat disimpulkan beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Kelurahan Kedondong dapat hidup dengan harmonis, seperti:

  •  Sifat terbuka dari masyarakat sebagai faktor dasar hubungan harmonis dapat terjadi
  • Terdapat faktor pendukung hubungan harmonis berasal dari luar (santri dan kyai undangan pihak masjid atau musholla). Untuk pihak Kristen tidak ada faktor pendukung dari luar.
  • Pihak gereja, perangkat kelurahan, dan tokoh agama memiliki peran yang besar dalam membina hubungan harmonis antarumat beragama.
  • Walaupun terbuka, ternyata masyarakat Kelurahan Kedondong merupakan masyarakat yang selektif
  • Pembinaan dari pihak kelurahan harus secara konsisten dijalankan untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan. Pembinaan ini juga bisa dikatakan sebagai faktor pendukung.

Saran

Penulis menyarankan apabila semua pembaca ada gagasan atau masukan mohon segera menyampaikan pada penulis, karena penulisan tulisan ini tidak bisa lepas dari subjektivitas penulis. Penulis memiliki gagasan untuk menulis sejarah GTTK Kelurahan Kedondong ini menjadi sebuah buku, tentunya akan lebih banyak diadakan penelusuran lebih lanjut. Oleh karena itu saran dan masukan akan penulis terima dengan lapang dada. Berdasarkan peristiwa di Kelurahan Kedondong ini penulis dapat berharap agar masyarakat luas dapat belajar dari sini. 

Sebagai bangsa yang hidup multikulturalis yang datang dari berbagai latar belakang, rasanya tidak mustahil apabila kita dapat hidup harmonis seperti yang terjadi di Kelurahan Kedondong. Sebagai perseorangan, mungkin kita bisa mempelajari kehidupan masyarakat Kedondong seperti yang dijelaskan pada kesimpulan. Tidak menutup kemungkinan juga apabila kita bersikap terbuka dan dapat segan terhadap orang lain, maka orang lain akan melakukan hal sama kepada kita. 

Rasanya sudah cukup jelas diuraikan pada kalimat-kalimat diatas dan penulis harap para pembaca dapat mengambil poin-poin penting untuk dapat direfleksikan pada kehidupan nyata. Memang permasalahan anatarumat beragama diluar sana memiliki pola peristiwa yang berbeda, namun penulis pikir tidak menutup kemungkinan bahwa ada poin-poin penting dari peristiwa ini yang dapat kalian ambil beberapa untuk menghasilkan ide-ide baru sebagai alternatif peleraian masalah hubungan ketidakharmonisan diluar sana. Tentunya ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Akhir kata Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Referensi

Arsip

Surat Bapak Suradji. 1977. Bapak Pendeta Yohanes Husodo.

Surat Ketidakberatan Masyarakat dalam Pembangunan Gereja. 1977. Bapak Pendeta Yohanes Husodo.

Surat Permintaan Pembangunan Gereja. 1977. Bapak Pendeta Yohanes Husodo

Buku

Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Raho, Bernard. 2021. Teori Sosiologi Modern. Maumere: Ledalero.

Sjamsuddin, Helius. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Jurnal

Afryanto. (2013). "Internalisasi Nilai Kebersamaan melalui Pembelajaran Seni Gamelan (Pendidikan Karakter bagi Siswa)". Jurnal Seni dan Budaya Panggung Vol. 23 No. 1. hlm: 1-108.

Amin, Mukayat Al. (2018). "Toleransi Umat Beragama di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan". Jurnal Al-Hikmah: Jurnal Studi Agama-Agama Vol. 4 No. 1.

Faridah, Ika Fatmawati. (2013). "Toleransi Antarumat Beragama Masyarakat Perumahan". Jurnal Komunitas Vol. 5 No. 1. hlm: 14 -- 25.

Yunus, Firdaus M. (2014). " Konflik Agama di Indonesia Problem dan Solusi Pemecahannya". Jurnal Substantia Vol. 16 No. 2. hlm: 217-228.

Sumber Lisan (Wawancara Sejarah Lisan)

Bapak Sugiono. Tokoh Agama Islam Kelurahan Kedondong. 18 April 2021.

Bapak Jiman. Staff Kelurahan Kedondong. 22 April 2021.

Bapak Landep. Staff Administrasi Kelurahan Kedondong. 22 April 2021.

Bapak Yohanes Husodo. Tokoh Agama Kristen. 24 April 2021.

Bapak Isno. Masyarakat Sekitar Gereja. 10 Juni 2021.

Bapak Sukoco. Ketua RW III. 21 September 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun