Pori-pori di kedua tangannya mengembang. Bulu kuduknya berdiri. Ia bergidik. Tanpa berpikir panjang, ia bergegas kembali ke ruang piket. Setelah sampai di ruang piket, Anton mengambil air dan meneguknya beberapa kali sambil mengatur napas yang masih ngos-ngosan lalu menanyakan sesuatu kepada Roni.
Anton : “Ni, di kamar 7 tadi kamu melihat ada berapa orang di sana?”
Roni : “Kan aku sudah bilang hanya ada seorang pasien dan penunggu” (menjawab dengan penuh keheranan akan pertanyaan yang dilontarkan Anton)
Anton terlihat semakin pucat. Ia menoleh sekitar. Roni melihat tingkah temannya itu dengan penuh keheranan. Roni pun kembali menanyakan perihal pertanyaan Anton barusan.
Roni : “Sebenarnya ada apa to Ton kok kamu kayak orang kebingungan aja?” (tanya Roni)
Anton : “Aku tadi melihat yang di kamar ada tiga orang. Satu pasien, satu lagi penunggu pasien yang tidur di sofa dan yang satu perempuan berambut panjang sepinggang berbaju putih kumal yang membelakangiku” (menjawab dengan kata yang masih terbata-bata karena masih ngos-ngosan).
Anton kembali bertanya.
Anton : “Apa kamu juga melihat perempuan itu saat kamu memeriksanya tadi”?
Roni : “ Aku tidak melihatnya. Jangan-jangan yang kamu lihat itu....KUNTILANAK”
Mereka menyebut kata KUNTILANAK itu secara bersamaan. Bulu kuduk mereka berdiri. Mereka saling pandang dengan perasaan takut.
Bunyi tanda panggilan kembali terdengar. Kali ini kamar nomor 3 yang memanggil. Roni mengeceknya sendiri karena temannya masih terlihat ketakutan. Rupanya selang infus pasien nomor 3 mampet. Roni segera membetulkannya. Pak Tarno selaku penunggu pasien mengucapkan terima kasih.