Ia bisa menggunakan ilmu gerak tarinya yang dapat diubah sebagai gerak ilmu silat.Â
Demikianlah peristiwa awal biksuni itu membuka pikiran dan minat dewi Kilisuci. Pertempuran dua pendekar itu berakhir ketika sinar matahari yang jatuh lewat lubang atap itu telah tegak lurus. Pertanda hari telah mencapai siang.Â
*****
Pagi sebelum matahari terbit, dua ekor kuda berpacu pelan di jalanan Maja Dhuwur. Di atas punggung hewan-hewan itu duduk dengan gagahnya dua pendekar yang telah dikenal warga kademangan. Penduduk yang sebagian telah bangun melihat dua orang berkuda melintasi jalan kademangan itu. Karena pagi masih gelap para penduduk itu tak tahu siapa mereka.
Keduanya menyelempangkan kain di punggung, berisi beberapa pakaian dan kampil berisi keping-keping perak sebagai bekal perjalanan. Sekar Arum sangat ceria wajahnya, pertanda hatinya senang, mengulang kembali pengalaman berpetualang seperti dulu bersama gurunya.
Saat melewati hutan Waringin Soban mereka  berpapasan dengan rombongan pedagang yang dikawal oleh  belasan laskar bersenjata. Ketika bersimpangan jalan mereka saling menganggukkan kepala.
"Amankah jalan ini paman ?" Tanya senopati.
"Aman. Sangat aman. Hantu perampok dihutan ini sudah kami musnahkan. Termasuk pemimpinnya Gagak Ijo." Jawab pemimpin laskar.
Senopati  Naga Wulung mengangguk-anggukkan kepala. Di dalam hati ia tersenyum terhadap kepongahan pemimpin laskar itu. Iapun melirik kearah Sekar Arum, nampak bibir gadis itu mencibir.
Ketika rombongan itu telah berlalu, dan mereka telah memacu kudanya berbarengan, gadis pendekar itu baru meluapkan kekesalannya.
"Cih. Laki-laki pembual. Jika benar-benar bertemu Gagak Ijo, paling ia akan terbirit-birit." Katanya lirih.