Bahkan sebagian telah digunakan untuk mengantarkan para emban menyebrang, mengawani Dewi Kilisuci yang sudah gelisah ingin segera naik gethek melintasi sungai yang besar itu.
"Tidakkah ibunda mengawani saya menyebrang sungai terlebih dahulu ?" Tanya gadis itu.
"Berangkatlah dulu Suci, bersama para emban. Aku akan menyebrang bersama ramamu." Jawab Gusti Ayu Galuh Sekar.
Dengan gembira Dewi Kilisuci mengangguk. Meski sedikit takut karena belum pernah melakukan penyebrangan dengan gethek, namun ia kuatkan hatinya. Bersama beberapa  emban gadis itu mendahului menyebrang.
Tangannya tak berhenti melambai kearah rama dan ibunya, bibirnya tak juga berhenti tersenyum. Betapa ia menikmati pengalaman pertamanya menyebrangi sungai Brantas di bawah ancaman musuh yang terus memburu.
Demikianlah usaha menyebrangi sungai Brantas itu hampir berakhir. Beberapa kali belasan gethek itu hilir mudik untuk mengangkut penumpang yang hendak menyebrang. Tinggal sekali lagi belasan gethek itu menjalankan fungsinya, menyebrangkan pangeran Erlangga bersama kedua istrinya, senopati Narotama dan limapuluhan prajurit.
Semua penumpang telah naik di atas gethek. Pangeran Erlangga bersama kedua istrinya, berdiri di belakang tandu-tandu yang juga telah dinaikkan. Di dampingi senopati Narotama yang selalu siaga menjaga junjungannya.
Ketika gethek-gethek telah bergerak hampir mencapai tengah sungai, tiba-tiba beberapa anak panah melayang di udara menyerang mereka. Seorang tukang satang yang mengendalikan laju gethek yang ditumpangi pangeran Erlangga dan istri-istrinya tiba-tiba terjungkal dan ambruk masuk sungai. Diikuti jerit wanita yang menyayat kesakitan karena ujung anak panah menembus keningnya.
"Dinda...." terdengar teriakkan Pangeran Erlangga yang sigap menolong Gusti Ayu Galuh Sekar. Darah menyembur membasahi muka serta pakaiannya. Gusti Ayu Sri Laksmi segera berjongkok berlindung di balik tandu.
Gethekpun oleng terbawa arus. Seorang prajurit dengan sigap menyeburkan diri kearus sungai dan berenang mengejar gethek yang ditumpangi pangeran Erlangga. Upaya prajurit itu diikuti oleh teman-temannya. Mereka segera naik keatas gethek pangeran dan mengendalikan gethek itu dengan satang yang tertinggal.
Senopati Narotama amatlah marah mengalami peristiwa itu semua. Segera ia tahu dari mana asal anak-anak panah itu. Dengan ketajaman matanya ia melihat ada lima orang meluncurkan anak panah. Bahkan dua orang bercawat dengan beraninya membidik sambil berdiri di atas batu.