Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Dari Sebuah Ketinggian

9 Oktober 2024   17:01 Diperbarui: 10 Oktober 2024   13:33 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DARI SEBUAH KETINGGIAN

Oleh Wahyudi Nugroho

Saat masih belia, pernah aku baca sebuah kalimat, hasil guratan pena pujangga besar negeri ini yang menjadi idolaku. Kalimat itu berbunyi  "Bila sebuah kata diucapkan dari sebuah ketinggian, ia akan meluncur ke bawah dan beranak pinak."

Kalimat itu selalu kuingat, sampai usiaku mendekati senja. Dengan stabilo kalimat itu kutandai dengan tindasan ti9nta biru. Agar setiap membuka novel itu, aku bisa membacanya lagi, agar kian erat melekat di dinding otak di kepalaku. 

Siapa tahu nanti alam berkenan membuka tabir yang menutupi substansi pesannya. Karena bagiku kalimat itu sangat bermakna, mensasmitakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan.

Terus terang saat itu aku tak paham apa makna yang pujangga itu pesankan. Karena keterbatasan kemampuanku berpikir, dan masih rendahnya pengalaman hidup, tak mampu menangkap sasmita di balik kalimat yang diguratkan. Kecuali menganggapnya sebagai deretan kata sebagai penghias karya sastranya saja.

Namun akhir-akhir ini makna yang tersirat dalam kalimat itu sedikit terkuak. Hanya sedikit. Namun dari celah yang kecil itu kita sudah dapat menggambarkan satu sisi dari kompleksitas makna yang dikandung kalimat pujangga itu.

Baca juga: Suratku Untukmu

Hanya sayang peristiwa di jagat politik dan kebudayaan yang menjadi sebab terbukanya celah pemaknaan itu tidak layak jadi catatan sejarah yang patut dielukan. Meski juga masih memberi hikmah bagi siapa saja yang peduli dan rajin mengikuti perkembangan wartanya.

Baca juga: Doaku Untukmu

******

Sahdan, di negeri entah berantah, banyak orang yang menyebutnya dengan sinis  negeri Konoha, hiduplah seorang raja yang telah sampai di senja kekuasaannya. Sebentar lagi, terhitung tinggal beberapa hari, ia harus menyerahkan tongkat estapet kekuasaannya kepada raja baru penggantinya. Lajimnya ia harus legawa, untuk "lengser keprabon, madeg pandita" sebagaimana dicontohkan pendahulu-pendahulunya.

Raja ini punya kepribadian unik. Semula ia tampil dimata rakyat dengan sempurna, polos- lugu- sederhana, mampu menghipnotis mata dan pikiran rakyat untuk menjadikannya idola. Melahirkan harapan, kerongkongan rakyat terbasahi air kesejahteraan setelah kering kerontang hidupnya.  

Individu-individu pengagumnya kian banyak, dan bergumpal-gumpal menjadi kelompok-kelompok. Tiap kelompok membangun identitas dengan atribut yang khas. Nama, bendera, ikat kepala dan kaos, jadi penanda mereka pro dengan sang raja.

"Raja adalah kita." Jargon-jargon baru terbangun.

Tak heran jika ia dikerubungi banyak orang yang berebut berkah darinya. Rela mengorbankan harkat dan martabat kemanusiaannya untuk sekedar menjadi cawiker atau ceboker atas segala keganjilan-keganjilan kebijakannya.

Barangkali karena telah mengenyam betapa manisnya madu kekuasaan, raja negeri Konoha ini ingin memperpanjang jatah waktu kuasanya. Dengan sembunyi-sembunyi ia kas-kus (kasak-kusuk) kesana kemari mencari dukungan. 

Para buzzer pendukungnya giat penuh semangat menggaungkan suara di pelbagai media, bahwa sang idola layak untuk memperpanjang jatah waktu kuasa itu. Agar negeri Konoha cepat maju, menjadi salah satu mercusuar di Asia, rakyat pasti akan makmur sejahtera dan bahagia.

Namun segala jerih payah tak menuai hasil. Konstitusi negeri Konoha telah tegas membatasi waktu berkuasa raja. Kepala-kepala suku dan cerdik pandai penjaga konstitusi ini, masih waras otaknya. Mereka menggelengkan kepala menolak keinginan ganjil sang raja. Kepala suku merah khususnya, meski wanita dengan berani mengangkat tangan menyetop nafsu menggebu sang raja.

"Cukup !!! Jangan melampaui batas !!!!" Katanya.

Sang rajapun diam, tak berani berkata-kata. Di depan kalayak ia membantah menginginkan perpanjangan masa jabatan. Itu suara orang-orang yang ingin membeset mukanya, kilahnya.  Para pencari muka agar ia beri hadiah jabatan karena telah bersusah payah membantu memperjuangkan keinginan raja.

Meski telah ia tutup rapat semua celah agar orang tak bisa mengintip warna hatinya dengan kata-kata, tapi insting publik mulai ragu dengan segala gerak-gerik raja. Terlebih apa yang dikatakanya kini sering berbeda jauh dengan yang diucapkan esok dan lusa. 

Jika ia berkata 'ya' rakyat menafsirkan artinya 'tidak'. Jika 'tidak' bermakna sebaliknya 'ya'. Sang raja kehilangan kepercayaan sebagian rakyat terhadap esensi moral yang wajib dilakoninya, satunya kata dan perbuatan.

Tertutuplah sudah celah selubang jarumpun untuk tetap berkiprah di panggung kekuasaan bagi dirinya. Namun iblis yang telah bersemayam dalam hati terus menggoda, usahlah dikau putus asa dinda. Jangan buru-buru meredam bara nafsu di dadamu yang terus menggelinjang.  Toh ada pesta rutin lima tahunan yang sebentar lagi datang, kau bisa titipkan cita-citamu yang mulia kepada calon raja baru yang mesti dipersiapkan. 

Maka semangat raja bangkit lagi.

Dengan piawai ia memainkan peran, seperti aktor dalam drama Korea. Dengan licinnya ia berucap di depan rakyat, mengendors calon-calon pengganti raja selanjutnya. Jika ia bertemu itu akan bilang begitu, jika sedang berjalan dengan ini ia akan bilang begini. Karakter uniknya muncul lagi, pendiriannya sulit ditebak, mencla-menclenya kambuh lagi. Banyak pengikutnya bingung, kemana sebenarnya arah condongnya hati rajanya.

Ternyata sang raja punya agenda sendiri. Rakyatpun curiga langkahnya semata-mata hendak mengejar mimpinya semula, memperpanjang masa kuasa di negeri Konoha. 

Diam-diam raja menggerakkan tangan gaibnya. Dalam ruang gelap-gulita nan sunyi senyap, raja berbisik di telinga iparnya, agar ipar tercinta ikut andil memuluskan jalan rahasia bagi pangeran, dengan cara mengubah aturan syarat pencalonan usia calon wakil raja.

Rakyat terhenyak, cerdik pandai terpana. Aturan yang telah baik dan rapi diobrak-abrik hanya untuk ambisi sang raja. Namun mereka diam, tak bisa bicara dan menolaknya. Keputusan Majelis Kakak itu bersifat tegas dan mengikat. Meski hati pedih dibohongi raja mereka tak banyak berbuat menolaknya. Raja dengan santai melenggang bersama para pengikutnya, sambil mengeraskan hati dalam prinsip;  biar seribu anjing menggonggong tak akan dihiraukannya.

Sang pangeran kini telah sah jadi calon wakil raja. Usianya yang muda membawa banyak harapan. Dengan gegap gempita para buzzer melambungkan namanya. Sang pangeran meski sangat muda tak kalah cerdas dan pintar. Ia berkaromah seperti wali, bola bakso dipegangnya berubah jadi emas. Itulah sebabnya kawula di daerah kepangeranannya bisa hidup sejahtera.

Seperti balon yang ditiupkan udara ke dalamnya, hati pangeran menggelembung. Bocil yang belum berpengalaman banyak di panggung politik itu, melambung-lambung angannya. Wajahnya cerah, dihiasi mata sayu dan senyum manis yang khas selalu tersungging di bibirnya. Keberaniannya terpompa melebihi daya tampung hati dan pikiran. Dalam panggung kampanye dengan congkaknya berujar.

"Jangan kawatir pak. Saya sudah di sini." Seolah-olah ia merasa dirinya telah menjadi raksasa yang akan mampu mengatasi segala aral yang melintang di jalan menuju kekuasaan.

Calon raja baru itu dianggapnya tolol, tak akan mampu berbuat apa-apa tanpa dirinya di sampingnya. Tak tahu bahwa calon raja baru itu telah menelan banyak buku di kepalanya. Pahit getir kehidupan telah banyak pula dikenyamnya. Jiwanya telah matang untuk menghadapi halang rintang di depannya. Ia pandai merespon dinamika politik dan kejiwaan orang-orang dilingkungannya, untuk dituang dalam konsep taktik dan strategi memenangkan pertarungan.

Sang raja hatinya gembira, harapannya bersemi kembali. Calon raja baru sudah senja usia, paling lama tiga tahun ia akan lengser meninggalkan kursi kuasa. Pangeran sulung akan marak menggantikannya. 

Seperti aktor laga negeri Cina tiba-tiba ia kembali lincah dan gesit. Mampu melompat kesana kemari dengan ringannya, sambil menenteng berkarung-karung sembako di tangannya. Para kawula gembira, lama hidup kering kerontang di tengah negeri yang subur dan kaya raya, dengan senyum manis pula menyambut uluran tangan raja yang mendadak dermawan.

Alkisah pesta pemilihan raja baru dan wakilnya selesai sudah. Semua harus menerima keputusan akhir Majelis Kakak dalam perkara sengketa pemilihan. Namun ternyata drama Korea yang disiapkan raja belum berakhir. 

Tercandui oleh sukses mengantarkan sulungnya untuk bisa duduk di kursi kuasa, ia rupanya ketagihan. Terbukti segala aral yang melintang dengan mudah dilaluinya. Para kepala suku dengan gampang diperdaya, rakyatpun mudah dikelabuhi dengan topeng kepolosannya.

******

Jurus serupa telah disiapkan. Tangan gaib raja bergerak, tiba-tiba aturan pemilihan kepala daerah berubah. Kini Majelis Adik yang menjadi perpanjangan tangan raja, untuk memuluskan jalan pangeran muda yang rada songong itu. 

Agak berbeda dengan kakaknya yang nampak lembut dan sopan, melankolis seperti Lesmana, sang adik seperti Durmogati dalam pewayangan. Berjalan selalu mendongakkan kepala dan ceplas-ceplos saat bicara. Ia memiliki rasa percaya diri yang agak berlebih.

Namun jagat politik rupanya sudah tak sekondusif seperti semula. Banyak pengikut raja yang semula mengagungkanya, kini berbalik arah mencurigai setiap gerak-gerik raja. Tinggal para buzzer berkemampuan tembre-tembre dan cawiker- ceboker yang berburu remah-remah rejeki dari keluarga raja yang mendukungnya.

Tuhan dan malaikat rupanya mulai bosan pula melihat wajah asli raja. Ia bisikkan ke telinga para begawan, resi dan pendeta di semua padepokan yang ada di negeri ini. Agar mengobarkan semangat di dada cantrik-cantriknya untuk melawan. 

Momentum strategis disediakan oleh alam, saat para wakil rakyat hendak menganulir peraturan yang keluar dari kepala anggota MK yang telah sadar dari dosa, telah ikut terbawa arus mengacak-acak aturan negeri Konoha.

Ketika seruling malaikat berdengung tanda keadaan darurat, seluruh cantrik dan begawan, resi dan pendeta serentak turun jalan. Dibantu para aktor budaya, dagelan-dagelan zaman now dan pekerja yang resah jadi korban aturan baru buatan raja. Mereka berteriak lantang penuh geram menolak aturan baru yang dirumuskan baleg Dewan Pengkianat Rakyat. Negeri Konoha gempar. Legacy raja sembilan tahun berkuasa, berguguran porak poranda terlanda gugatan rakyat.

Pangeran muda terbirit-birit ketakutan. Ia lari ke negeri Paman Sam nebeng pesawat jet milik kawannya, membawa isteri dan dua dayangnya. Di negeri itu mereka menikmati sesisir roti untuk sarapan pagi, seharga sekarung beras di negeri Konoha untuk jatah pangan rakyat  melarat yang kering kerontang perutnya.

*****

Perjalanan karma belum selesai. Kini pangeran sulung yang terincar jadi sasaran perjalanan karma itu. Barangkali cara Tuhan untuk memecah cangkang keras yang menutup hati raja, agar segera insyaf atas dosa-dosa masa lalunya. Jangan meniru Firaun di masa lampau.

Sebuah akun di platform kaskus bernama pupupapa terbongkar. Isinya catatan harian hasil kreatifitas gemilang menuangkan kecerdasan dan luasnya wawasan yang di duga kuat milik pangeran. Dari catatan itu kapabilitas sang pangeran bisa ditakar.

Sayang sekali catatan itu bukan hasil goresan pena bernilai prima, seperti catatan negarawan-negarawan pendahulunya yang pernah menjabat wakil raja. Seperti Mohammad Hatta, Hamengku Buwana, atau Adam Malik, yang karya tulis dan biografinya layak jadi bahan obrolan ilmiah yang bermakna untuk mengasah pikiran generasi muda. 

Pangeran muda yang disohorkan cerdas dan pintar itu, isi catatannya hanya satu dua kata yang tersebar di banyak unggahan. Isinyapun hanya ejekan, hinaan, dan kalimat mesum, seperti tanggapannya tentang payudara artis-artis cantik yang menjadi pelampiasan obsesifnya. Semuannya terlempar dari ketinggian dan meluncur deras ke tengah publik. 

Kini kata-kata itu berubah sifatnya menjadi bola salju liar yang terus membesar. Menabrak segala pagar yang dibangun raja, dan pecah menjadi gumpalan yang kecil dan terus menggelinding dengan dahsyatnya.

Bola-bola itu menabrak pikiran rakyat, lahirlah kalimat-kalimat baru dari serpihan bola-bola itu, serpihan itupun terus berputar dan melesat cepat menggelinding dahsyat ke segala arah.

"Layakkah ia menjadi wakil raja di negeri Konoha ?" 

"Jangan pasang fotonya di dinding-dinding rumah rakyat jika ia dipaksakan dilantik." 

"Adili saja dia bersama keluarganya" 

"dari mana kekayaannya yang besar itu, tidakkah hasil melaoundry uang hasil korupsi dan gratifitasi ?" 

Dan masih banyak kalimat-kalimat yang beranak pinak dari catatan briliannya itu.

Kini raut muka raja tak seceria dulu. Aura wajahnya kuyu dan lesu. Barangkali ia tengah "ngudarasa"  berbicara dalam hati sendiri. Ia telah bersusah payah berjuang dengan mengorbankan rasa malu, tapi hasilnya tak sesuai dengan harapan. Sang pangeran membawa penyakit yang beracun dan dijauhi rakyat. Kepalanyapun menunduk.

Gejala fenomenologis raja yang njengkerut dahinya dengan kepala menunduk itu ditafsirkan rakyat bukan lagi prihatin dan bersedih. Namun menganggapnya raja berpikir membuat drama ala Korea yang baru, yang barangkali lebih dahsyat. Tengara kesiap-siagaanpun bertalu kembali di negeri Konoha;  Waspada, waspada, waspada !!!!

Lereng Kelud, Oktober 2024

 


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun