Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keris Brongot Setan Kober

28 September 2024   15:05 Diperbarui: 28 September 2024   16:01 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita ke gardu itu sebentar. Kita sempunakan malam ini agar lebih senyap daripada kuburan. Kita buat mereka tidur pulas agar tak menggangu tugas kita." Kata Soreng Pati.

"Kakang akan menyebar sirep dari sana ? Apakah tidak berbahaya kakang, api dupa kakang akan terlihat dari kejauhan." Jawab Soreng Rana.

"Hujan deras begini siapa yang mau keluar rumah. Tentu mereka lebih senang berselimut di atas ranjang, atau di dapur minum air jahe hangat sambil berdiyang." Kata Soreng Pati.

Tanpa menghiraukan kawannya, Soreng Pati melangkahkan kaki menembus guyuran hujan yang lebat. Soreng Rana terpaksa mengikutinya.

Segera mereka siapkan kebutuhan peralatan untuk menyebar aji sirep. Dari sebuah keranjang bambu yang mereka bawa mereka keluarkan merang, batang padi yang telah mengering. Dengan thithikan mereka membuat api, sebentar saja api menyala menerangi gardu perondan itu. Segumpal kemenyan dimasukkan kedalam api yang menyala itu.

Asap putih bergulung-gulung sebentar, kemudian menyebar terbawa angin. Soreng Pati segera memusatkan daya ciptanya. Sebagai murid patih Mantaun, yang akrab dengan Tohpati keponakan patih kadipaten Jipang, yang dikenal banyak orang sebagai Macan Kepatihan itu, banyak juga perbendaraan ilmu yang telah dikuasainya. Termasuk Aji Sirep Begananda yang dahsyat itu.

Malampun bertambah sepi. Udara terasa bertambah dingin. Suasana sunyi senyap menyelimuti udara Istana Kerajaan Pajang yang tengah diguyur hujan lebat. Tak seorangpun prajurit menyadari, bahwa istana terancam bahaya yang mengerikan.

******

Sementara itu, di bilik peraduan Sultan, ada dua orang yang masih terjaga. Baginda Hadiwijaya duduk di pinggir ranjangnya, dihadap seorang pemuda gagah yang bersila di atas lantai. Dengan takjimnya pemuda itu menundukkan kepala sambil meletakkan kedua tangan di pangkuannya.

"Sudah bulatkah tekadmu menolak keputusanku, Benawa ?" Tanya Baginda Hadiwijaya pelan. Terdengar nada keprihatinan dalam suaranya.

"Hamba ayahanda. Hamba telah banyak mempertimbangkannya. Bukan hamba yang pantas duduk dalam jabatan Ywa Raja." Jawab Pangeran Benawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun