MBAH DULAH, BERTEMU HANTU PUTHUL
Oleh : Wahyudi Nugroho
Mbah Dulah kesal hatinya. Empat desa telah dikelilinginya malam itu. Kedua kakinya juga sudah lelah. Apalagi pundaknya yang harus menahan beban, terasa betapa pegalnya.
"Malam sial. Mimpi apa aku semalam. Sejak sore hingga hampir tengah malam, hanya laku sepuluh tusuk." Keluhnya dalam hati.
Ia berhenti sejenak, dan melepas bebannya di pundak. Nafasnya yang memburu biar agak reda. Keringat di kening dan lehernya ia usap. Angin malam bertiup, sedikit rasa nyaman membelai.
Hatinya mengeriyut, saat menatap jalan panjang yang membentang. Gelap gulita tanpa setitik cahaya. Hanya sebatang obor yang menemaninya, menancap di pojok salah satu keranjangnya. Nyalanya merah bergerak-gerak digoda angin malam.
"Te, sateee....Sate !!" Teriaknya berulang kali.
"Tok, tok, tik, tok....sateee." kentongan kecil dipukulnya keras berpuluh kali.
Ia masih berdiri di pertigaan jalan. Setelah keluar dari dusun Bira Santren. Tak juga ada orang mendatanginya. Semua rumah sudah menutup pintu.
Kemana kakiku harus melangkah, pikirnya. Kekiri berarti kembali. Pulang tak bawa uang membuat hatinya gamang. Kecuali besuk tak bisa kulakan, juga kecut melihat istrinya pasang wajah masam.