"Siapakah gadis itu pangeran ?" Tanya Sekar Arum.
"Anakku. Namanya Kilisuci. Dyah Ayu Sanggramawijaya." Jawab pangeran sambil tersenyum dan terus memandangi putrinya yang sedang menari itu.
Demikianlah Sembada dan Sekar Arum menyaksikan latihan tari itu sampai hampir tengah malam. Mereka berterima kasih kepada Pangeran Erlangga yang telah berkenan mengundang mereka ikut menyaksikan latihan itu.
"Janganlah berterima kasih padaku. Terima kasihlah kepada Dinda Galuh Sekar. Dialah yang mengusulkan gagasan acara ini, karena tahu kau dulu bersama kakakmu adalah penari terkenal di istana Ayahanda Dharmawangsa." Jawab pangeran.
"Terima kasih Gusti Ayu prameswari Galuh Sekar." Kata Sekar Arum sambil membungkukkan badan.
Prameswari Galuh Sekar hanya tertawa saja sambil melambaikan tangan. Ketiganya lantas masuk istana lewat pintu samping, pintu yang juga dilalui oleh para penari itu.
Sembada dan Sekar Arum bergegas mengayun langkah keluar istana. Ketika mereka hampir sampai di depan pintu barak, Sembada menarik tangan Sekar Arum dan mendorong kepalanya agar merunduk. Sebuah anak panah melesat kencang di samping mereka, dan menancap pada gawang pintu barak itu.
Ekor anak panah itu masih bergetar. Sembadapun mencabutnya dari gawang pintu. Sebuah rontal tergulung rapi, dan diikat dengan tali dari serat tanaman. Sebuah surat ditujukan padanya oleh orang yang belum di kenal.
Sekar Arum juga tertarik dengan rontal itu. Setelah Sembada berhasil melepasnya dari batang anak panah, ia segera membukanya. Keduanya membaca guratan tulisan yang ada di permukaan rontal.
"Yen sira yekti prawira. Sun tantang tanding prang. Ing wana kidul Jungabang. Perawan ayu sisihira dadi bebanane. Aja tinggal glanggang colong playu sawusnya maca tembang tantangan iki.
Saka Aku Rakyan Dyah Tumambong saka desa Cane."