Beberapa kali barisan prajurit Bala Putra Raja itu beristirahat. Ketika matahari telah melewati puncaknya mereka berada di tengah hutan yang masih rapat. Di bawah pepohonan hutan sinar mentari di musim kemarau itu tak mampu menyentuh kulit mereka. Angin yang sejuk mengawani mereka makan bekal yang mereka bawa dari kademangan Maja Dhuwur.
Sejenak mereka terhibur oleh suara-suara satwa di hutan itu. Lutung jantan berteriak dengan kerasnya, memanggil anggota kelompoknya untuk menjauh dari rombongan prajurit itu. Aum harimau terdengar samar, suaranya terbawa angin sepoi yang membelai mereka. Tekukur mendekur di pucuk pohon yang tinggi. Namun kicau burung tak terdengar di telinga mereka, mungkin mereka tengah tidur setelah perutnya kenyang.
Sejenak kemudian senopati menjatuhkan perintah untuk melanjutkan perjalanan. Barisan prajurit itupun segera mengular memenuhi jalan.
Menjelang senja mereka telah keluar dari hutan yang lebat itu. Ketika barisan prajurit mendekati dusun Jungabang, mereka dikejutkan oleh suara panah sendaren dua kali berdengung di udara. Rupanya pasukan sandi yang mereka sebar pada jalur jalan yang akan dilewati barisan pasukan itu telah mengirim pesan peringatan.
Senopati segera memerintahkan pasukan berkuda mendahului barisan. Sembada dan Sekar Arum ada dalam barisan berkuda. Mereka berdua merasa wajib mengamankan dua buah pusaka yang telah mereka temukan.
Sementara pasukan yang berjalan kaki segera mengambil posisi di sekitar dua prajurit berkuda yang membawa pusaka. Tiga pedati dirapatkan dan dilindungi dua lapisan pasukan di setiap sisinya.
Bersamaan dengan dengung suara sendaren ketiga nampak gerombolan orang yang berlari-lari sambil berteriak-teriak dan mengacungkan senjata keluar dari dusun Jungabang.
"Serbuuu, hancurkan..."
Jalak Seta mengangkat pedangnya. Ketika jarak penyerbu dengan pasukan berkuda itu tinggal lima puluh langkah, ia menurunkan pedang komando itu menuding para penyerbu.
"Hancurkan mereka, serbu...."
Barisan kuda itu tiba-tiba melompat dan berlari dengan cepat menerjang musuh. Â Para penyerbu itu berhamburan menghindari terjangan pasukan berkuda. Belum bisa bernafas lega terhindar injakan kaki kuda, barisan berkuda berikutnya menerjang dengan sabetan-sabetan pedang.Â