"Tak aku sangka tuan putri memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Meski aku telah mendengar sebelumnya bahwa tuan puteri pandai memainkan pedang, tetapi kemampuan melawan Gagak Ijo tidak semua prajuritku memilikinya." Kata Senopati Wira Manggala Pati saat menyambut pasukan kecil yang bertugas menghadang rombongan pasukan pembuat onar di Sumber Bendo.
"Terima kasih paman. Itu sudah kewajiban kami sebagai anggota pengawal kademangan. Jadi jangan sambut kami dengan berlebihan.
Dan satu lagi paman. Seperti Sekar Arum aku keberatan paman menyebutku tuan puteri. Paman bukan lagi pengawal ayah. Tetapi seorang senopati yang diangkat Pangeran Erlangga."
Senopati Wira Manggala Pati mengangguk-anggukkan kepala. Dua puteri tumenggung Gajah Alit sejak kecil memang sudah dikenalnya dengan baik, mereka memiliki watak yang rendah hati. Meski kini memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, sikapnya itu tidak berubah.
Lain lagi yang terjadi di pesanggrahan pasukan golongan hitam yang kini bermukim di desa Sambirame. Gagak Arga marah-marah saat tahu murid utamanya tewas hanya karena melawan seorang Gadis. Ia malu di depan sahabat-sahabatnya, justru muridnya yang ia banggakan menjatuhkan martabat gurunya di kalangan golongan hitam.
"Biarlah ia mampus murid tak berguna itu. Benar-benar memalukan perguruan Gagak Bhirawa di gunung Kawi." Katanya.
Demikianlah yang terjadi saat penyerbuan pertama ke kademangan Maja Dhuwur itu. Benar-benar di luar harapan mereka yang terjadi. Mereka harus menelan jamu pahit menghadapi kenyataan.
Sebagaimana disarankan Singa Lodhaya sejak awal, mereka harus membawa perlengkapan perang yang memadai, sebelum menggempur kademangan Maja Dhuwur. Namun hampir semua terburu nafsu untuk merebut harta karun di kademangan itu. Akibatnya korban jatuh tak terhitung.
"Ternyata kita benar-benar orang-orang tolol." Kata Singa Lodhaya gusar.
Semua yang mendengarnya menundukkan kepala. Tapi apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur.
(Bersambung)