Salah seorang mengingatkan Sembada dan Sekar Arum. Kemudian bersama-sama mereka melontarkan tubuhnya ke belakang dan berbalik  badan,  kemudian lari menembus kegelapan.
Sembada dan Sekar Arum tak ingin terjebak oleh keroyokan orang-orang pesanggrahan. Mereka segera melontarkan tubuh jauh ke belakang pula, dan bergegas meninggalkan tempat itu. Keduanya menelusup masuk pepatnya hutan dan menghilang dari pandangan mata lawan-lawannya.
Namun tak seorangpun orang-orang pesanggrahan itu yang berusaha mengejar lawan-lawan mereka. Semua tercengkam oleh hawa dingin yang menusuk kulit hingga masuk ke tulang belulang mereka. Semuanya menggigil, serasa tak tahan oleh dinginnya malam.
Namun sebentar saja kabut tebal itu semakin menipis, kemudian hilang dari pandangan mereka. Hawa yang dinginpun sedikit demi sedikit berkurang, sehingga tidak menggigilkan badan lagi.
Di sebuah tempat yang tersembunyi dekat medan pertempuran itu, di atas batu besar bekas tempat duduknya bersila, seorang lelaki pendek baru melepaskan kedua tangannya yang semula bersedekap di dada.Â
Lelaki bajang itu baru saja bermeditasi untuk menyalurkan Aji Halimun Pethak, yang dapat mendatangkan udara dingin berkabut putih, untuk menyelamatkan murid-muridnya. Ia kawatir dua panah sendaren dua kali berganda yang membelah udara malam itu memanggil tokoh-tokoh sakti golongan hitam mendatangi arena pertempuran itu.
Sebentar kemudian, lelaki pendek kekar yang tak lain pendekar bajang dari tanah Pasundan yang bernama Mang Ogel itu segera melesat dari tempatnya. Dengan ilmu peringan tubuhnya yang sempurna, sebentar saja ia telah menyusul dua puluh pemuda yang baru bertempur itu.
"Kenapa kalian kelayapan sampai kemari ?. Bukankah sudah aku beri tahu, setelah menyeberang sungai Brantas kalian harus jalan lurus masuk hutan Waringin Soban ? Kenapa belok ke selatan, memasuki hutan Wana Jaya, apa yang kalian cari ?" Demikian omelan Mang Ogel kepada murid-muridnya.
Semua pemuda yang baru hendak naik ke punggung kuda itu diam tak bersuara. Mereka tahu telah melanggar perintah gurunya. Oleh karena itu tak ada yang berani membuka mulut.
"Apakah kalian semua bisu ? Tak bisa menjawab pertanyaanku ?" Tanyanya bertambah kesal.
"Maaf guru, bukan maksud kami melanggar pesan guru. Tapi kami mengejar sekelompok orang yang telah bertindak kejam terhadap penduduk beberapa desa di sepanjang jalan setelah kami menyeberang sungai Brantas." Kata salah seorang muridnya.