"Siapa lagi itu ?"
"Ki Ardi. Si Kidang Gumelar, pendekar bercambuk legendaris jaman prabu Darmawangsa." Kata ki demang.
"Ohhh,...Tokoh-tokoh tua yang dulu menggemparkan jagat persilatan telah datang juga." Kata senopati lirih.
Demikianlah esok harinya empat orang itu berangkat menjalankan tugas, diikuti lima prajurit sandi dari pasukan Bala Putra Raja. Mereka mengendarai kuda menuju ke barat.
Ketika lewat desa Sambirame nampak desa itu sepi sekali. Para punggawa desa tentu sudah berangkat pergi mengikuti pemimpinnya, Gagak Ijo. Ikut bergabung dengan semua gerombolan yang berrencana menggempur kademangan Maja Dhuwur.
"Mereka sudah merebut desa-desa sekitar kademangan Maja Dhuwur. Kademangan itu sebenarnya sudah terkepung kekuatan pendukung kerajaan Wura Wari."
"Benar Kek. Namun kerajaan itu tak pernah membantu usaha golongan hitam untuk menguasai kademangan Maja Dhuwur."
"Aneh. Tentu merekapun tidak ingin golongan ini menjadi kuat." Kata kakek Ardi.
"Ini juga kelihaian ki demang. Begitu Medang hancur ia memperlihatkan tanda takluk kepada penguasa kerajaan Wura Wari. Setiap tahun ki demang mengirim upeti ke Lwaram, Bloura. Dengan demikian golongan hitam harus berjuang sendiri jika ingin merebut kademangan Maja Dhuwur."
"Itulah cara kerja para penguasa yang memerintah sebuah wilayah, mereka harus berpikir ganda. Sekarang ki demangpun telah mendua jalan pikirnya. Satu sisi dia masih tunduk kepada kerajaan Wura-wari, karena negeri ini sekarang yang berkuasa, tapi dia diam-diam menjalin hubungan dengan Pangeran Erlangga. Menantu Prabu Darmawangsa, penguasa kerajaan Medang yang dulu dirobohkan raja Wura Wari itu."
"Penguasa kerajaaan Wura-wari juga membiarkan golongan hitam melakukan kegiatan perampokan, pembegalan di hutan Waringin Soban. Tanpa terlihat tindakan prajurit mengamankan wilayah itu."