"Adik Sekar Sari ? Saudara kembar ? Calon isteri Sembada ? Maha Besar Hyang Widi telah mencipta gadis manis seperti kalian berdua. Sari dan Arum, nama-nama yang cantik. Seindah wajah kalian berdua. Kau dan Sembada bagiku laksana anak-anak dewa, hidupku terasa penuh berkah dekat kalian. Gara-gara Sembada akupun dibuatkan rumah oleh ki demang sebesar ini." Mbok Darmi menangis lagi.
Sekar Arum mendekatinya, ia duduk di amben di sisi Mbok Darmi. Dengan penuh kasih sayang  gadis itu merangkul wanita tua itu, dan mencoba meredakan tangisnya. Pijatan-pijatan yang lembut jari-jari tangan Sekar Arum di punggung janda tua itu sedikit demi sedikit meredakan tangis Mbok Darmi.
Sembada terharu melihat pemandangan itu. Ia lantas keluar rumah lewat pintu belakang. Di halaman belakang rumah itu, ia melihat sudah terbangun pula kandang kuda. Kandang itu cukup luas, bisa untuk lima ekor kuda. Ia segera mengambil kudanya dan kuda Sekar Arum yang tertambat di depan rumah, untuk di masukkan ke kandang itu.
Dengan membawa keranjang dan sabit Sembada segera mencari rumput. Kuda-kuda itu tentu sudah lapar. Mereka leluasa merumput kemarin dalam perjalanan. Pasti mereka sudah lapar lagi. Sama dengan dirinya dan Sekar Arum, baru sekali mengisi perutnya dengan daging ular bakar.
Setelah reda dari tangisnya, Mbok Darmi mengajak Sekar Arum ke dapur untuk masak makanan kesukaan Sembada. Namun gadis itu minta izin hendak membersihkan badan dulu. Karena sudah sehari semalam dirinya belum mandi.
Demikianlah Sembada dan Sekar Arum hari itu tinggal di rumah Mbok Darmi. Mereka menempati kamar sendiri-sendiri. Setelah makan siang dengan bothok lamtara dan gurami bakar, keduanya bisa istirahat dengan bebas.
Matahari terus bergerak, waktupun terus berlalu. Tak terasa hari telah menjelang sore. Kala Sembada dan Sekar Arum masih tidur nyenyak, di halaman kademangan Maja Dhuwur sudah mulai ramai.Â
Bersama ibu mereka anak-anak telah hadir di tempat itu. Bukan hendak menonton lomba tanding antar pengawal kademangan, yang di selenggarakan pada malam hari, namun ingin membeli jajanan yang dijual para pedagang yang telah berderet di pinggir jalan.
Acara yang akan digelar di halaman balai kademangan Maja Dhuwur jadi berkah bagi para pedagang. Mereka dapat mengumpulkan ketib demi ketib keuntungan dari penjualan jajanan mereka. Lapis, cenil, samplok, puthu, klepon, dan jajanan lain kesukaan anak-anak, Â terjual dengan laris di acara itu.
Baru saat matahari tenggelam di balik gunung, anak-anak itu diajak pulang ibu-ibu mereka. Perut mereka yang telah kenyang sebentar saja membuat mereka tidur dalam gendongan.Â
Namun kepulangan mereka tidak menjadikan halaman kademangan Maja Dhuwur sepi. Sebentar kemudian para remaja yang bergabung dalam barisan pembela desa berdatangan. Mereka berbondong-bondong datang dari setiap dusun yang masih jadi wilayah kademangan Maja Dhuwur.Â