Ia ambil beberapa kerat daging ular itu untuk di bakar. Â Sisanya ia biarkan dimakan binatang di hutan dekat telaga itu. Â Ia tersenyum, menemukan menu spesial untuk makan siang mereka yang sudah terlambat.
"Ternyata daging ularpun lezat sekali. Jika dekat rumah kita, semua dagingnya pasti aku bawa. Bisa untuk pesta para pemuda di sana. Karena jauh aku relakan jadi santapan anjing hutan yang meraung-raung itu." Kata Sembada saat menyantap daging bakar itu.
Memang sudah sejak ia menguliti ular itu, suara anjing hutan meraung-raung ramai sekali. Tentu mereka telah mencium darah dan daging hewan makanan mereka yang lezat pula.
Sementara Sembada dan Sekar Arum terus menikmati daging bakarnya. Setelah kenyang mereka pergi ke pinggir sendang untuk minum dan membasuh tangan dan mulutnya.
Sekar Arum masih mencoba menghilangkan darah ular yang menempel pada bilah tombaknya. Namun ia merasa heran, berbagai cara ia lakukan tetapi darah merah mengkilap itu tak bisa dihapus dari bilah tombak itu.
"Sudahlah Sekar biarkan sajalah. Barangkali sudah takdirnya, Tombak Naga Kumala itu harus dibalur darah ular. Aku yakin tidak mengurangi kesaktiannya. Ujung cambukku tidak mampu membunuh naga itu, meski telah kukerahkan Aji Tapak Naga Angkasa sampai puncak. Namun ia justru tertembus oleh tombakmu, Naga Kumala."
"Baiklah kakang, biar sajalah. Bahkan bilah tombak ini nampak lebih indah. Pamornya nampak lebih menyala. Ini adalah kenangan hidup kita"
Ketika matahari sudah tenggelam di ufuk barat, mereka meneruskan perjalanan pulang. Sembada meletakkan gulungan kulit ular di punggung kudanya.
Ketika memasuki desa Trisula nampak banyak orang bergerombol di jalan. Â Saat mereka melihat dua orang berkuda dari arah telaga Sumber Sanga, mereka sangat heran. Salah seorang menghentikan perjalanan mereka.
"He, anak muda berhentilah. Pasti kalian tadi melewati Telaga Sumber Sanga. Tidakkah kalian melihat peristiwa yang terjadi di sana ?"
"Peristiwa apa bapak ?" Tanya Sembada.