"Ah, kakang ada-ada saja." Jawab Arum malu.
"Hahaha. Marilah kita lanjutkan perjalanan. Perutku sudah lapar. Kita berhenti di Sendang Sumber Sanga, dekat desa Trisula. Kita isi perut kita dengan ikan bakar yang kita cari dari sendang itu."
Keduanya segera naik ke kuda masing-masing. Kini mereka melarikan kuda tidak terlalu cepat. Â Karena mereka merasa tidak perlu tergesa-gesa.
Memasuki desa Sugih Waras, mereka berdua jadi perhatian beberapa penduduk desa itu yang sedang mencangkul di ladang. Barangkali jarang mereka temui orang berkuda lewat desa mereka. Apalagi salah satunya seorang wanita berpedang. Sedangkan lelakinya memanggul payung emas.
Ketika matahari agak bergeser ke barat perjalanan mereka sudah mendekati telaga Sumber Sanga. Â Beberapa ratus depa dari telaga itu, tiba-tiba kuda mereka ragu melangkahkan kakinya. Berulang kali kuda-kuda itu meringkik, seolah takut meneruskan perjalanan.
Sembadapun mendadak mencium bau banger, pertanda ada seekor ular tak jauh dari mereka. Keduanya lantas berhenti, serta mengikat kuda mereka.Â
"Arum, barangkali menu makan kita siang ini lebih lezat dari dari daging ikan. Ada seekor ular yang mungkin sedang mengintai kita. Biasanya ia tinggal dekat sendang, jika sedang lapar ia akan menangkap binatang yang mencari air karena kehausan."
"Apakah bau banger yang kita cium ini tandanya kakang ?"
"Iya. Mari kita cari. Binatang itu membahayakan orang yang lewat jalan ini."
Pelan-pelan keduanya melangkahkan kaki mendekati telaga Sumber Sanga. Mereka berdua terkejut ketika melihat pohon besar di pinggir telaga itu tergoncang-goncang daunnya. Seekor ular raksasa mengayun-ayunkan tubuhnya, sementara ekornya masih menyangkut di dahan pohon besar itu.
Sembada dan Sekar Arum terpana menyaksikan. Mereka berpikir binatang itu tentu sedang kelaparan. Hidungnya mencium bau kuda yang akan lewat.