"Sebelum tengah malam besok, jika tidak ada halangan di tengah jalan, kita pasti sudah sampai di kademangan itu."
"Apakah kita langsung masuk kademangan dengan membawa pusaka-pusaka ini ?"
"Sebaiknya nanti kita sembunyikan dulu. Aku tahu di sana ada sebuah goa yang sering aku jadikan tempat berlatih. Ada ruang tersembunyi yang bisa kita pakai sebagai tempat untuk menyembunyikan pusaka-pusaka ini sementara waktu."
"Sementara waktu ?"
"Yah, sebelum kita serahkan kepada Pangeran Erlangga. Sampai sekarang aku belum tahu di mana pesanggrahan beliau."
Sekar Arum mengangguk-anggukkan kepala, sambil terus memacu kudanya.
"Setelah itu apakah kita bisa langsung ketemu kakang mbok Sekar Sari ?"
"Lebih baik kita istirahat dulu sehari. Aku punya ibu angkat di dusun Majalegi, masih wilayah kademangan Majadhuwur pula. Namanya Mbok Darmi. Janda tua yang hidup sendirian"
"Baiklah. Aku ikut rencana kakang saja. Meski rasa rinduku kepada kakakku sudah sulit aku tahan."
Sembada tertawa. Ia bisa memaklumi perasaan Sekar Arum. Terhadap dirinya saja yang hanya tiga tahun tidak bertemu, perasaan Arum tak bisa ditahan. Bahkan tanpa malu kepada siapun yang melihatnya ia menciuminya sedemikian rupa. Sebagaimana yang terjadi saat mereka bertemu di desa Balitar.Â
Baru pertama kali itulah Sembada merasakan lembutnya ciuman bibir seorang gadis. Hingga hari ini hatinya sering kali bertanya, bagaimana perasaan Sekar Arum kepadanya.Â